Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kuasailah Media (TV), Maka Anda Akan Memenangkan Opini Publik

28 Januari 2012   11:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21 1669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup di jaman teknologi informasi dan borderless world seperti sekarang ini, meraih simpati dan dukungan publik sangatlah penting. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai public figure, semisal politisi atau artis. Membangun citra diri menjadi suatu kebutuhan dan itu bisa dilakukan lewat media massa dan dunia maya. Media paling efektif adalah televisi. Sebab jaman sekarang TV bukanlah barang mewah dan bisa dibilang semua keluarga kelas menengah pasti punya TV. Untuk mendapatkan berita di TV orang tak perlu keluar uang, tak perlu menyediakan waktu khusus. Nonton TV bisa sambil makan, masak, kumpul keluarga bahkan menunggu giliran saat periksa dokter atau di apotik sekalipun. Itu sebabnya menguasai media TV menjadi penting.

Anda mungkin masih ingat bagaimana opini publik digiring kesana kemari sejak awal mula kasus suap Wisma Atlit terkuak. Nazaruddin dan Tim pengacaranya telah dengan demikian suksesnya memanfaatkan media TV untuk membalikkan opini publik yang semula mencaci maki dan mencerca Nazaruddin, berbalik menjadi mendukung Nazar.

Banyak yang sudah jadi korban penggiringan opini oleh Nazar lewat media TV. Sekjen MK Djanedjri M. Ghaffar yang pertama dibidik, meski gagal karena terbukti bersih. Lalu Dubes RI untuk Kolumbia,Micgael Menufandu jadi korban berikutnya. Tak luput pula penasehat KPK saat itu, Abdullah Hehamahua yang kredibilitas dan integritas moralnya selama bertahun-tahun telah diakui banyak pihak.

Tapi begitulah faktanya : Nazar jadi lebih dipercaya publik ketimbang pihak lain. Seolah publik lupa bahwa kelicikan Nazar dalam berbisnis bukan baru kali ini saja, bukan hanya kasus suap Wisma Atlit saja. Sebab ternyata sejak tahun 2005, saat usianya masih 26 tahun, Nazar dan Neneng Sriwahyuni – yang saat itu masih jadi sekretaris sekaligus pacarnya – telah terlibat memalsukan dokumen jaminan bank (bank garrantie) demi memuluskan pemenangan tender sebuah proyek.

Itulah kehebatan permainan “membangun image” melalui media terutama TV. Mencitrakan diri sebagai orang yang didzholimi dan dikuyo-kuyo, di Indonesia memang jadi strategi pemasaran paling ampuh! Kini, kasus lain yang tak terkait politik, tapi kasus ini menjadi issu sensitif di masyarakat : tabrakan maut yang menewaskan 9 nyawa dan 3 orang luka berat, akibat pengemudi ceroboh. Reaksi penabrak yang terkesan cuek dan santai, komentarnya melalui akun media sosial miliknya yang sama sekali tak berempati pada korban, telah menyulut amarah publik. Akun twitter milik pelaku jadi bulan-bulanan pengguna internet.

Foto-foto Afriani yang diunggah beberapa jam sebelum kejadian yang menunjukkan dia dan teman-temannya sedang pesta miras, kontan di share kemana-mana. Termasuk sejumlah foto lain yang menunjukkan keseharian penampilan, pergaulan dan gaya hidup Afriani yang memang hidup di lingkungan selebritis, sebagai pekerja seni di rumah produksi. Juga tweet-nya beberapa saat setelah kejadian yang kurang lebih berbunyi “emg salah gw? Salah temen2 gw? Santai lo smua” di copy dan disebarkan ke mana-mana. Juga tweet lain 1-2 hari sebelumnya yang menunjukkan Afriani memang terbiasa berpesta dan ke disko di akhir pekan. Gaya bahasanya semua khas gaya bahasa anak gaul metropolitan.

Maka, tumpahlah semua sumpah serapah dan hujatan untuk Afriani. Bahkan di facebook muncul page dukungan untuk mendesakkan hukuman mati bagi Afriani. Kesaksian langsung di televisi dari mereka yang berada di lokasi saat kejadian tentang kecuekan dan ketakpedulian Afriani, makin menyulut amarah publik. TV One-lah stasiun TV yang paling gencar memberitakan amarah keluarga korban. Termasuk tekad warga Tanah Tinggi yang kehilangan keluarganya dalam musibah itu untuk membuat perhitungan dengan Afriani jika hukuman baginya kelak dirasa ringan.

Tapi di hari ke-4 pasca kejadian, TV One pada acara Kabar Siang menayangkan keluarga Afriani yang meminta maaf. Malam harinya, kembali keluarga Afriani dihadirkan dalam wawancara di acara Kabar Utama. Bersamaan dengan itu diundanglah pengamat hukum ke acara live di sebuah cafe, membahas kemungkinan hukuman terberat apa yang bisa dikenakan pada Afriani. Saya lupa siapa nama pengamat itu.

Karena format acara diadakan di cafe, dimana pengunjung cafe dari kelas sosial atas, maka ketika host acara menanyakan kesan mereka tentang kecelakaan maut itu, memang sama sekali tak tersirat simpati pada keluarga korban. Bahkan terkesan ogah-ogahan dalam menjawab. Adapun si pengamat hukum ketika dimintai pendapatnya tentang hukuman yang “adil” untuk Afriani, dia mengatakan tidak bisa hanya memandang “adil” hanya dari sudut pandang keluarga korban, tapi juga dari sisi pelaku. Saya masih ingat kalimat si pengamat, kira-kira begini : “Bagi orang seperti kita (sambil mengarahkan jarinya pada diri sendiri dan kedua host), datu tahun saja sudah lama sekali, bahkan sebulan mungkin sudah lama.

Saya kaget juga. Sebab setahu saya sehari 24 jam, sebulan rata-rata 30 hari dan setahun 365 hari itu berlaku bagi siapa saja dari kelas sosial manapun. Setahun bagi pejabat, setahun bagi artis, setahun bagi sopir angkot, semuanya sama. Saya jadi menduga-duga, apa maksud tersembunyi dari kalimat bersayap itu. Apakah jika seandainya hukuman yang dijatuhkan kelak hanya 4 – 6 tahun, maka keluarga korban harus maklum bahwa bagi anak gaul yang terbiasa hepi-hepi seperti Afriani, itu sudah sangat lama? Semoga saja bukan begitu maksudnya.

Keesokan paginya, beberapa stasiun TV menayangkan adik Afriani yang membacakan surat permintaan maaf dari Afriani sambil menangis. Jika cermat diamati, kalimat-kalimat yang tertuang dalam 2 lembar kertas bermaterai Rp. 6000,-itu sangat formal dan indah. Sangat jauh beda dengan keseharian cara Afriani mengungkapkan pikiran dan perasaannya di akun jejaring sosial miliknya, yang cenderung ceplas-ceplos dan seenaknya. Entahlah, yang jelas surat permintaan maaf itu dibuat setelah Afriani didampingi penasehat hukum.

Kini, TV One kembali meng-klaim memiliki rekaman eksklusif permintaan maaf Afriani, yang mana video tersebut buram dan jelek kualitasnya. Bung Herman Hasyim menuliskan kecurigaannya di sini http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/01/27/mempertanyakan-eksklusifitas-video-permintaan-maaf-apriyani-di-tv-one/. Dalam video itu Afriani kembali menampilkan dirinya sebagai anak baik-baik, dengan mengenakan kerudung. Kali ini gaya bahasanya memang khas Afriani, bercampur istilah Inggris. Afriani mengaku dirinya “take care” pada orang-orang di sekitarnya. Video ini terus menerus ditayangkan berulang-ulang oleh TV One. Dalam waktu kurang dari 2 jam saja, saya sudah melihatnya 3 kali. Jadi ingat saat video Nazar diputar dulu.

Pagi tadi, saya melihat keluarga Afriani – Ibu dan adiknya – di RCTI. Semula saya pikir itu siaran berita, ternyata infotainment! Wow! Bagaimana bisa masuk infotainment sedangkan Afriani bukan artis? Ah.., tapi dia insane film juga, bekerja di rumah produksi. Maka tak perlu heran jika punya akses ke infotaiment. Di acara itu Ibu Afriani tetap berkeras dirinya takpercaya putrinya memakai narkoba dan minum miras. Intinya, keluarga membangun image bahwa Afriani anak baik.

Bagi saya, jika Afriani dinyatakan tak pernah minum miras dan tak mengkonsumsi narkoba, ini malah lebih aneh lagi. Bagaimana bisa menjelaskan perilaku Afriani yang cuek dan anti sosial pada saat kejadian, jika dia tidak di bawah pengaruh obat? Bukankah ketidaktahuan keluarga akan perilaku anggota keluarga lainnya di luar rumah, itu sudah jamak terjadi di kehidupan metropolis seperti Jakarta? Dan itu tak menjamin bahwa apa yang tak diketahui keluarga berarti tak mungkin terjadi. Fakta-fakta toh menunjukkan bahwa Afriani memang terbiasa dugem dan pesta miras.

1327748769278537451
1327748769278537451

Apapun, tampaknya kini “permintaan maaf” itu menuai hasil yang memuaskan. Banyak orang mulai menyerukan untuk memberikan simpati pada Afriani. Secepat itu! Hanya dalam hitungan 5 hari saja, opini sudah berbalik. Padahal, Pak Teguh dari Jepara yang kehilangan 4 anggota keluarganya dan 2 orang lagi luka parah, masih belum bisa menerima permintaan maaf itu. Pak Ramdani hamdan, seorang sopir bajaj yang tak lain ayah almarhum Buhari, menolak menerima santunan dari keluarga Afriani. Baginya kehilangan anak semata wayangnya harus ditebus dengan hukuman mati atau seumur hidup untuk Afriani.

Awal tahun 1994 lalu, seorang sopir bis kota yang mengemudi dengan ngebut dan ugal-ugalan telah membawa bis-nya masuk ke kali Sunter dan menewaskan 32 penumpang. Sopir maut itu kemudian dituntut dengan pasal pembunuhan berencana,sehingga hukuman baginya bisa sampai 15 tahun. Sebab hukum pasal lalu lintas maksimal hanya 6 tahun. Sayang, sopir bis kota ugal-ugalan itu tak bisa membayar pengacara yang bisa mengkonsepkan surat permohonan maaf bermaterai untuknya. Sayang juga si sopir itu tak punya akses untuk memanfaatkan media, terutama TV.

Padahal, jika kengebutan sopir bis kota itu bisa dianggap “pembunuhan berencana”, maka bagaimana lagi seseorang yang dengan sengaja mengemudi di keramaian kota dengan kecepatan di atas 100 km/jam, sementara dia sudah pasti tahu dan sadar dirinya tak memiliki SIM, mobil pinjamannya bodong tanpa STNK, dia semalaman tidak tidur karena dugem dari satu cafe ke diskotek dan hotel, memesan 3 botol beer plus 3 botol whisky, ditambah 2 butir pil ecstasy dosis tinggi seharga Rp. 600.000,-? Manakah yang lebih pantas dikategorikan “berencana”? Tapi kata Bung pengamat hukum yang diundang TV One, Afriani tak bisa dijerat dengan pasal seperti yang dikenakan pada sopir bis kota maut tahun 1994.

Saya tak tahu apa agenda dibalik TV One yang terus menerus menyiarkan video “permintaan maaf” Afriani. Yang jelas, sebagai TV yang berslogan “Terdepan Mengaburkan”, TV One telah berhasil membalikkan opini publik untuk bersimpati pada Afriani. Bermula dari simpati, timbullah rasa kasihan. Dari rasa kasihan, jadilah pemakluman. Dari pemakluman atas tindakannya, jadilah kepasrahan untuk tidak mengawal proses hukumnya. Kasihan keluarga korban yang tak bisa menyetir opini dari media televisi.

Buat saya, ini keberhasilan TV One kedua, setelah sebelumnya berhasil “mengaburkan” kasus tragedi korban luapan lumpur Lapindo. Bagaimana tidak, saya yang bertahun-tahun tinggal di Surabaya, pernah jadi salah satu “korban” lumpur Lapindo, banyak kenal korban di Tanggulangin Sidoarjo, tahu benar bahwa tak ada yang bergembira atas tragedi ini. Tapi TV One pernah dengan santai mengabarkan bahwa lautan lumpur panas kini jadi obyek wisata yang banyak didatangi masyrakat untuk menonton. Gila! Penderitaan warga sekian kecamatan dianggap potensi wisata! Ckckck... Itulah hebatnya punya stasiun TV.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun