Mohon tunggu...
Sri Ken
Sri Ken Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Swasta

Suka masak sambal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Cegah Radikal di Hulu?

23 Desember 2023   17:41 Diperbarui: 23 Desember 2023   17:49 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diantara kita mungkin masih ingat dengan seorang wanita yang berusaha menyerang Mabes Polri sendirian dengan menggunakan senjata airsoftgun. Keberanian wanita muda itu agak di luar nalar kita karena sangat berani menyerang sebuah kantor pusat polisi seluruh Indonesia.

Hal yang layak dicatat juga bahwa sang wanita ini masih sangat muda, pendiam, dari keluarga baik-baik. Selain itu dia seorang penyendiri dan tidak terbuka pada keluarganya.

Era digital seperti sekarang ini, seseorang memang bisa tidak saling tahu atau mampu menyembunyikan apa yang terjadi atau yang dia pikirkan  dan malah melarikan pikirannya ke teknologi dalam hal ini dunia maya. Dia berinteraksi dengan baik di dunia maya karena dua atau tiga atau banyak pihak yang bisa berinteraksi dengannya tanpa harus bertemu secara tatap muka. Pertemuan-pertemuan maya yang seperti ini membuat generasi sekarang ( generasi millenial dan Z) merasa nyaman dan dengan leluasa menuruti kata hatinya.

Pada ilustrasi yang saya berikan di atas, sang wanita itu tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat sekitar, tapi dia mampu berwasiat kepada keluarganya antara lain soal syariat Islam. Bahwa jangan memakai bank, jangan terlibat pada politik negara, jangan aktif pada kegiatan sosial yang disodorkan negara ( ibunya yang aktif pada kegiatan dama) dll. Padahal  keluarganya tidak terlihat terlalu konservatif dalam hal agama.

Karena itu sebagai keluarga ada baiknya kita waspada pada kegiatan-kegiatan anggota keluarga kita yang sekiranya melenceng dari seharusnya. Sang anak tiba-tiba tidak mau sekolah. Sang anak tiba-tiba tidak mau menyebut pancasila. Sang anak menyalahkan ayah atau ibunya soal ajaran agama yang dinilainya tidak sesuai dengan sariat islam.

Era digital memang menjadi surga tersendiri bagi kaum konservatif yang tidak jarang mereka terjebak pada fanatisme berlebihan. Karena fanatisme berlebihan, tak jarang mereka masuk ke sirkel radikal yang menyimpang dari ajaran islam sebenarnya. Karena digital menyumbang sebagian besar penyebaran faham radikal di Indonesia dan dunia. Bahkan tidak jarang digital termasuk dunia maya bisa memberikan inspirasi bagi perilaku radikal yang mereka anggap sesuai dengan ajaran agama.

Pemuda yang belajar merakit bom panci di Sukoharjo beberapa tahun lalu misalnya. Dia belajar merakit dari media sosial. Meski gagal meledakkan bom rakitan di depan pos polisi di Sukoharjo, namun tindakan mereka seharusnya bisa dicegah dengan pola asuh yang benar di keluarga. Sehingga bisa dikatakan bahwa keluarga bisa jadi wadah pencegah hulu dari penyebaran radikalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun