Mohon tunggu...
Sri Ken
Sri Ken Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Swasta

Suka masak sambal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Ada pada Zaman Darurat Intoleransi dan Radikalisme

21 Desember 2019   04:30 Diperbarui: 22 Desember 2019   08:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hari Jumat (21/12/2019) kantor berita BBC Indonesia menurunkan berita berjudul Larangan rayakan Natal bersama di Dharmasraya, Sumatera Barat: "Kami patuh, tapi hati kami menangis". Umat Katolik dan Kristen menyatakan tidak akan merayakan Natal secara bersama karena sebuah aturan.

BBC adalah sedikit dari kantor berita besar internasional yang selalu berpegang pada prinsip jurnalistik dan hasil karya mereka selalu berupaya untuk netral dan penuh kehati-hatian. Jadi karya jurnalistik mereka memang menggambarkan situasi obyektif dari yang diberitakan.

Dalam beritu itu disebutkan bahwa ada sekitar sepuluh keluarga atau 40 jiwa di sebuah desa di Kabupaten Dharmasraya dipastikan tidak bisa merayakan Natal di desa mereka yang maoritas muslim. Mayoritas mereka adalah para pendatang yang beragama Katolok. Oleh Pemerintah desa setempat, mereka disarankan untuk beribadah Natal di Sawahlunto yang berjarah 120 km. Tapi sepuluh KK ini menolak dan memilih akan merayakan di rumah tempat tinggal mereka masing-masing.

Menurut pemerintah desa, saran untuk merayakan Natal di Sawahlunto tidak hanya tahun ini saja tetapi sejak tahun 2017. Menurut mereka para ninik mamak desa itu tidak setuju ada perayaan Natal di desa mereka, dan ketidaksetujuan mereka belum dicabut sejak 2017 sehingga dianggap tetap berlaku pada tahun ini.

Selain itu Sekda setempat mengingatkan bahwa di desa itu, ada perjanjian tertulis pada tahun 1965, dimana para pendatang harus mengikuti adat setempat. Aturan itu menurut mereka tetap berlaku. 

Sekadar tahu saja, indeks kerukunan umat beragama yang diluncurkan Kementerian Agama RI 2019 beberapa minggu lalu, hasil survei menyebutkan Provinsi Sumatra Barat dihadapkan dengan indeks kerukunan di bawah standar terburuk kedua setelah Provinsi Aceh

Kasus intoleransi ini juga ditemukan di daerah Yogyakarta, misalnya. Di beberapa wilayah dalam lingkup Yogyakarta, beberapa kali terjadi terjadi penolakan pendatang non muslim dari warga  dan perangkat desa. Akhirnya masyarakat non muslim ini mencari daerah lain untuk dapat tinggal dan bekerja.

Berbagai kejadian ini menunjukkan bahwa pemahaman kita soal toleransi amat memprihatinkan. Masyarakat yang majemuk dan rukum selama beberapa dekade ke belakang, seakan kini makin sulit ditemukan. Banyak golongan dan keyakinan bersifat eksklusif, merendahkan golongan lain yang berbeda dan akhirnya tidak terjadi interaksi yang wajar.

Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena Indonesia selama ini dikenal sebagai negara majemuk, dengan bermacam macam suku dan budaya, bahasa, etnis danagama. Sehingga jika saat ini banyak orang menginginkan satu agamas saja, sama saja dengan mundur beberapa langkah ke belakang.

Di ujung tahun 2019, marilah kita sama-sama merefleksi apa yang sudah terjadi pada tahun-tahun lalu. Apakah Islam sebagai agama mayoritas memang menginginkan satu agama saja di muka bumi. Apakah intoleransi dan selanjutnya, radikalisme diinginkan oleh sebagian masyarakat Islam ? Bukankan Islam membawa kedamaian ? Kedamaian itu yang kita tunggu dari mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun