Mohon tunggu...
Fathur Roziqin Fen
Fathur Roziqin Fen Mohon Tunggu... -

dum spiro spero

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memperjuangkan Ruang Partisipasi Publik pada Advokasi Tata Ruang Kalimantan Timur

1 Mei 2012   08:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Fathur Roziqin Fen

PENDAHULUAN

Luas wilayah Kalimantan Timur yang mencapai 21.798.596 Ha (daratan 19.695.875 Hadan Laut 2.102.721 Ha) kerap dijuluki sebagai ‘land of hope’ bagi investasi sumber daya alam yang kian mengatri. Provinsi ini sangat royal memberikan perijinan bagi pengambilan kekayaan alam. Tidak kurang dari 2,5 juta ha telah diberikan bagi perkebunan besar kelapa sawit. Terdapat setidaknya 145 perkebunan besar swasta dengan luas 1,8 juta ha yang memperoleh ijin dari Bupati/Walikota, dimana 34 perusahaan dengan luas 380 ribu hektar telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU), dari seluas 187 ribu hektar yang berproduksi; 1,5 juta ha bagi pertambangan, 8,1 juta ha bagi pengusahaan hutan (6,4 juta ha HPH (88 perusahaan) dan 1,7 juta ha HTI (25 perusahaan)).

Ironisnya, dalam kurun waktu empat tahun terakhir, lahan pertanian fungsional berkurang sebanyak 10.421 ha (sawah 2.478 ha, dan pertanian pangan 7.943 ha) jumlah tersebut diprediksi terus bertambah dikonversi menjadi pertambangan dan perkebunan sawit skala besar. Hal ini menjadi kontradiktif, ketika dalam berbagai kesempatan Pemprov Kaltim menyatakan siap menjadikan Kalimantan Timur sebagai lumbung pangan nasional dengan program nasional yang telah dimulai sejak tahun lalu yaitu Food Estate, dengan mencanangkan 320 ribu hektar di 10 kabupaten.

Sementara itu, ijin usaha yang diterbitkan kepala daerah dapat berpotensi sebagai konflik yang akan dengan mudah disulut.Dari catatan pengaduan masyarakat kepada WALHI Kaltim, terdapat 40 konflik terbesar dan terjadi secara periodik sepanjang 1982 hingga 2011, mulai dari konflik lahan dan replanting hingga pencemaran. Kabupaten Paser misalnya, salah satu kabupaten yang lebih awal membuka diri untuk perkebunan kelapa sawit skala besar, hingga kini tak kunjung usai dengan konflik lahan dengan masyarakat adat.

Pemerintah propinsi dan kabupaten pun saling tuding, gubernur menilai karena tidak ada koordinasi dalam penerbitan ijin yang dilakukan para kepala daerah. Misalnya, ijin untuk perkebunan telah dikeluarkan tetapi ijin peruntukkan lainnya seperti Kuasa Pertambangan (KP) diterbitkan pula di dalam lahan atau kawasan yang sama. Praktik saling tuding tanggungjawab ini tak juga menegaskan keberpihakan atas kerusakan dan konflik yang terus berkepanjangan.

Karut-marut pengelolaan sumberdaya alam ini tidak bisa dilepaskan dari pengabaian hak dan partisipasi masyarakat. Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, mengakui persoalan konflik lahan menjadi salah satu kendala dan tantangan realisasi Tata Ruang Kaltim. Hingga saat ini, tercatat oleh Propinsi terdapat 742 kasus atau sengketa lahan akibat tumpang tindih lahan terkait pelaksanaan program pembangunan perkebunan di Kaltim. Kasus terbanyak adalah tumpang tindih antara perkebunan dan pertambangan, kehutanan maupun APL (areal penggunaan lain) serta pembebasan atau status lahan milik masyarakat.

Pada 2011 lahan kritis mencapai 8,1 juta hektar di seantero Kalimantan Timur. Pemerintah Propinsi kemudian mengklaim bahwa lahan kritis tersebut dapat diselesaikan dengan program ‘Kaltim Green’ yang mendorong setiap orang menanam lima pohon (one man five trees). Sungguh ironi ketidakadilan yang dibalut program pemerintah di tengah penegakan hukum terhadap pengrusakan hutan dan ruang-ruang hidup masyarakat yang semakin terabaikan. Sisi lain dari Kaltim Green yang mencederai rasa keadilan ekologis

Tumpang tindih persoalan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi pembangunan dan konsepsi tata ruang antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Ekses selanjutnya, seringkali konflik rung berakhir di ujung laras aparat, intimidasi dan pembungkaman terhadap para tokoh masyarakat yang membangkang terhadap investasi yang merampas ruang-ruang hidup mereka.

RUANG ADVOKASI

Upaya advokasi kebijakan pun menjadi mutlak. Salah satu yang telah dan terus didorong oleh gerakan masyarakat sipil yang secara fokus mengadvokasi sumber-sumber kehidupan rakyat adalah dengan bersama masyarakat adat melakukan pemetaan partisipatif terhadap kawasan kelola mereka. Kemudian menjadikannya sebagai konsesus bersama antar wilayah kelola adat hingga dijadikan penekan kebijakan pada level kabupaten dan propinsi untuk diakui secara legal formal atas kelola kawasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun