Mohon tunggu...
Achmad Iqbal
Achmad Iqbal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen disalah satu kampus swasta di Banyuwangi

Menulis adalah cara bertahan hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebih Dulu Mana, Smart City atau Smart Citizen?

4 Agustus 2020   06:55 Diperbarui: 4 Agustus 2020   06:56 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan kritis tetiba muncul, kali ini tentang lebih dulu mana smart city atau smart citizen? Tentu menjawabnya perlu renungan agar konsep smart city dapat di aplikasikan dan sesuai dengan tujuan mulianya. Jangan sampai hanya keren di istilah namun tak seindah kenyataannya, dengan kata lain smart city hanya sebagai simbol kedigdayaan manusia akan kemampuannya menguasai teknologi. 

Barangkali sudah banyak kita temui belakangan, bahkan di desa-desa, mengklaim dirinya sebagai “desa pintar”. Tak jarang, klaim tersebut muncul hanya karena internet (dengan akses wifi gratis) sudah merambah ke kehidupan masyarakatnya. 

Apakah yang disebut smart city hanya sesederhana itu? Berikut urun pemikiran yang mungkin dapat menjadi bekal dalam memahami dan memandang smart city belakangan ini.

Kota sering dikonotasikan sebagai sebuah ekosistem dengan berbagai kemajuan peradaban manusia. Identik dengan kepadatan penduduk, menuntut kota harus mampu menyediakan apapun yang dibutuhkan masyarakatnya. Perbaikan infrasutruktur, layanan umum, dan kualitas hidup masyarakatnya selalu diupayakan oleh pemangku kepentingan kota. 

Di era digital, bahkan banyak kota yang menyulap dirinya sebagai kota pintar (smart city). Dalam tulisan ini, tidak dibedakan lagi antara desa dan kota. Penyebutan smart city selanjutnya dialamatkan pada keduanya, baik kota maupun desa. Hal ini dikarenakan, gap antara desa dan kota sudah terkikis dengan pola perkembangan yang ada.

Smart City bukan merupakan konsep sederhana dengan Information and Communication Technologies (ICTs) tentu sebagai pondasinya. Artinya, smart city bukanlah konsep kota yang dengan akses internet disegala titik lantas sudah dapat dikatakan smart city. 

Jauh dari hal itu, smart city menekankan pada peningkatan kinerja sosial-ekonomi, ekologi, logistik bahkan kompetitif dari sebuah kota dengan cara mengintegrasikan komponen mulai dari sumberdaya manusia, infrasutruktur, modal sosial, dan modal ekonomi dengan peran teknologi didalamnya.

Terdapat dua pendekatan dalam implemetasi smart city, yakni Technology Driven Method (TDM) dan Human Driven Method (HDM). Pendekatan pertama (TDM) meyakini bahwa smart city merupakan kota dengan teknologi sebagai penggerak setiap kegiatan dengan harapan tercapainya peningkatan standar kehidupan masyarakatnya. 

Para pendukung pendekatan ini percaya bahwa teknologi dapat menciptakan kemakmuran secara ekonomi, integritas ekologi dan keadilan sosial secara berkelanjutan. Pendekatan kedua (HDM) merupakan bentuk oposisi dari pendekatan pertama. Jika TDM percaya teknologi adalah segalanya, namun HDM justru  percaya bahwa smart city harusnya digerakkan oleh manusianya. 

Sebagai kritik atas pendekatan TDM, aspek keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan menjadi dua hal yang terdistorsi jika pengembangan smart city hanya fokus pada teknologi sebagai penggerak hingga kehilangan esensi  kemanusiaan.

Dua pendekatan itulah yang mungkin juga menjadi dasar bagaimana pemangku kepentingan dan masyarakat memandang bagaimana smart city diaplikasikan. Pengembangan kota “pintar” harusnya tidak diaplikasikan untuk lebih condong ke salah satu pendekatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun