Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal
Muhamad Iqbal Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Komunikasi

Bukan buzzer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Petani dari Kaum Revolusi sampai Payung Agrari

2 Agustus 2020   18:56 Diperbarui: 2 Agustus 2020   18:58 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika mendengar kata petani apa yang pertama kali terbersit di kepala kalian? seseorang yang bekerja di sawah saban hari? Orang yang biasanya tinggal di desa? Pahlawan lumbung padi Negara? Atau yang cukup senang dengan hal-hal yang berbau kiri dan sedikit anarki mungkin menyebutnya garda terdepan pejuang revolusi. 

Semua itu sah-sah saja toh itu hanya julukan, toh itu hanya ungkapan-ungkapan yang disebutkan dan yang diujarkan di sosial media, di mimbar-mimbar orasi sampai kampanye perebutan kursi, atau mungkin di esay essay lomba. Bagi pak tani dan bu tani mungkin saja hal itu tak terlalu memiliki pengaruh pada hasil panen musim ini.

Petani memang memiliki sejarah panjang. Mulai dari zaman romawi kuno hingga zaman yang sudah tiba pada 4.0, petani tetap saja dan masih akan terus eksis. 

Selama periode kolonialisasi Belanda, petani juga mengalami berbagai peristiwa yang kini tertulis pada lembar buku sejarah. Dari mulai perlawanan bersenjata hingga ikut membantu penyuksesan buruh melakukan mogok kerja. 

Begitu pula di beberapa negara berhaluan kiri, petani selalu menjadi teman setia buruh pada setiap pergerakan. Walaupun kadang kala diriku sedikit nyengir agak heran kalau membaca beberapa bacaan yang menuliskan problematika petani hanya sebatas hal-hal sosialisme, ketidakadlian sosial, hingga kapitalisme tuan tanah. 

Memang dan mungkin di beberapa daerah atau di beberapa kasus ditemukan hal tersebut yang mungkin belum diriku ketahui, tapi menurut pengalamanku di desa tidak sampai pada hal yang begituan. Karena semuanya dibicarakan dengan jelas dan gamblang.

Seperti membicarakan soal bagi hasil panen padi, mungkin agak terdengar sesuatu hal yang riskan. Seolah-olah terdikotomi pada pemilik lahan yang ingin mengambil untung sebanyak-banyaknya dan buruh yang terkena imbas dengan mendapat bagian yang terbilang sedikit. 

Padahal biasanya petani dan pemilik lahan akan membuat kesepakatan terlebih dahulu sehingga ditemukan jalan tengah yang sekiranya enak untuk kedua belah pihak. 

Di tempatku ada yang dinamakan dengan sistem bawon di mana nantinya ketika melakukan penimbangan hasil panen, penggarap lahan akan mendapatkan bagian yang sudah disepakati, dan bermacam-macam jumlahnya mulai dari sepertiga, seperenam, atau setengah hasil panen. 

Lagi pula jika penggarap merasa tidak cocok dengan kesepakatan yang telah dibuat biasanya akan dilakukan negosiasi ulang. Bisa dibilang jarang kalau sampai memberikan bagian ke penggarap dengan jumlah yang sangat sedikit atau tidak wajar karena nantinya si pemilik lahan juga pasti akan menjadi bahan gunjingan di pasar-pasar, di warung-warung, atau di serambi jumatan sebelum khotbah dimulai.

Ujung-ujungnya, penggarap memutuskan untuk tidak menggarap lagi lahan milik tuan tanah. Dan tuan tanah akan kerepotan mencari penggarap lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun