Mohon tunggu...
Iqbal Taro
Iqbal Taro Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Aku ingin jadi penulis fiksi!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tentang Cinta

12 April 2013   12:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:19 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu begitu. Selalu kuserahkan diriku bulat-bulat dalam cinta. Semua untuk cinta, untuk sedikit senyuman manisnya yang sanggup cerahkan hariku. Untuk sejenak percakapan ceria yang bisa terangi sepanjang hariku. Nyalakan sisi hatiku, yang sebenarnya lebih banyak gelapnya. Cinta selalu mampu membuatku mabuk dan hilang kendali. Seperti sore itu ketika kubunuh waktu kosongku dengan berjalan kaki….

……….

Bagi dia aku ini salah satu dari sekian banyak pilihan, namun bagiku dia hanya satu. Satu di mataku, satu kini dihatiku. Telingaku terbuka untuk semua lagu atau caci maki, tapi suaranya selalu nomor satu. Dan kini aku terpaksa menahan mati pandanganku, memalingkan muka ketika dia berbalik melihatku ketika aku secara tak bisa kukendalikan menatap mukanya lama, lagi. Kadang kupaksa untuk bertemu mata, tapi aku tak kuat melihat sorot mata muak yang dia pancarkan, atau setidaknya itulah yang kurasakan. Hubunganku dengan Rani telah masuk ke ranah yang rumit, persis sama dan identik dengan kasus-kasus cintaku yang lain.

Kenyataan bahwa kami serumah memaksa kami harus sering bertemu, dan itu sama sekali tak membantu. Aku terlanjur kikuk dan jadi bocah menjengkelkan cukup dengan merasakan kehadirannya di ruangan yang sama denganku, ditambah jika aku tahu dia memperhatikan aku, maka mati kutulah aku. Ingin rasanya kumuntahkan semua kemuakan ini di mukanya langsung, empat mata dan rahasia. Aku ingin dia tahu apa yang kurasakan belakangan ini, aku ingin setidaknya dia rasa apa yang kurasa. Aku ingin dia tahu bahwa aku serius sekali. Dan aku mau minta maaf. Minta maaf karena tak bisa jadi biasa untuknya, tak bisa jadi biasa dengannya. Aku mau minta maaf karena tak bisa jadi sahabatnya yang baik, meski sumpah demi Tuhan aku ingin, tapi aku tak bisa dan dia tahu itu. Aku mencintainya. Aku sungguh mau bertekuk lutut untuk yang satu itu, memohon maafnya yang terbesar, karena itulah dosaku yang paling tak layak.

Semua kini mengabur,..Masih aku ingat masa ketika hawa hangat melingkupi aku dan dia ketika berdua berjalan ke hutan. Ketika aku lihat dia menumpahkan air mata, dan kutontoni dia bercerita tentang semua luka yang ia derita,.aku mau sekali berkata ‘tahukah kau Rani? Setiap 1 luka yang tersayat di wajahmu, menjadi 2 di wajahku namun aku tak bisa menangis’. ‘Tahukah kau Rani? Lukaku lah ketika melihat mu, menyadari kau tak mungkin jadi milikku, bodoh setengah mati mencintaimu’… Oh,..betapa aku sahabat yang buruk.

Dan kini kusadari beban yang ia tanggung sungguh gila. Semua yang kurasakan ini tak ada apa-apanya. Mungkin itu satu dari banyak hal yang ingin kucuri darinya. ‘Pernah kau coba bagi lukamu denganku, Rani. Ternyata aku tak sanggup.’ 4 bagiku, baginya 2. 2 bagiku baginya 1. 1 bagiku baginya ½. Hidup yang ia jalani begitu rumit tapi senyum selalu tersaji meski luka dan air mata tersimpan disetiap sudut bibirnya. Mungkin karena itu jiwanya sanggup memikat jiwa-jiwa lain yang merasa sombong dan gagah. Dia lugu tapi penuh teka-teki. Semua kesulitan hati yang kuresahkan terlihat kecil dengan caranya melihat hidup. Dengan caranya memandang manusia. Dengan caranya memandang laki-laki. Dengan caranya memandang cinta. Remeh seperti remah-remah roti.

Pengakuannya tentang hatinya, tentang apa yang ia rasa mendobrak semua kepalsuan yang dibawa para pujangga cinta. Cinta bagi Rani bukan dilangit atau di laut, cinta bagi Rani ada di tanah. Cinta tercecer dijalan-jalan, menunggu kau tunduk melihat dan membuka mata, cinta terselip di balik pintu. Tak ada rayuan yang lebih manis daripada kejujuran.

Seperti di sore hari itu ketika aku berjalan sendiri ke hutan. Ingin kujauhi hiruk pikik manusia karena aku muak dengan mereka, sudah tak tahan lagi. Aku muak dengan cinta dan segala Rani, aku tak tahan ingin ikut terbakar. Maka aku berjalan jauh, melewati batas pertama hutan. Terus.. Terus ke dalam sampai kuharap tak lagi kutemui suara manusia. Aku ingin tersasar di hutan sana. Sampai ketika hutan telah menunjukkan aku titik sepinya. Tiba-tiba semua terasa hampa. Dan Aku mau menangis sejadi-jadinya. Menangis seperti anak kecil ketika tak dibelikan mainan. Menangis seperti ketika tempe gorengku di habisi adik. Menangis seperti ditinggal ibu pergi ke pasar. Tapi seperti semua tangisan itu. Entah 10 tahun atau hari ini, aku tahu. Aku tahu mainan itu takkan terbeli, tempe gorengku takkan kembali, dan ibu akan tetap pergi ke pasar. Seperti semua tangisan itu, tangis kali inipun reda dengan kesadaran pilu, reda bukan karena luka itu hilang. Luka itu meresap menanti untuk menyiksaku lagi kapan-kapan.

Pernah kau rasa yang seperti itu, Rani?

Pernah kau merasakan yang seperti itu?

Iya….

Rani merasakan semua ini, bahkan yang jauh lebih parah dari ini.

Dia merasakan semua luka itu, juga menangis sampai luka itu masuk di hati, tersembunyi selaput lebat palsu senyuman dan canda tawa. Menyelinap di sejenak kehangatan sementara. Ya, Rani…

Perciikan api hidupmu tak padam-padam. Begitu pula aku. Begitu pula setiap manusia di dunia. Kadang percik api itu redup, kadang seperti tak menyala, namun bukan untuk mati. Untuk menunggu saat yang tepat untuk membakar semuanya..

Adakah saat itu akan tiba untukku? Sebelum akhirnya aku mati menua.

Akankah saat itu akan tiba? Kapan? Apakah ketika tulang-tuilang ini tak lagi kuat menahan geletar lidah apinya?

Atau mungkinkah saat itu tlah lewat, tlah terjadi dan aku lupa?

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun