Mohon tunggu...
I NYOMAN MAHA BUDHI SUJANA
I NYOMAN MAHA BUDHI SUJANA Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Pendidikan IPA

Mahasiswa Pascasarjana yang mendalami kajian Pendidikan Sains. Memiliki minat pada pengembangan kurikulum, filsafat sains, dan analisis kebijakan pendidikan. Saya menggunakan platform ini untuk menuangkan hasil refleksi, analisis kritis, serta eksplorasi ide-ide baru di persimpangan antara sains, teknologi, dan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Idealisme Masih Relevan di Dunia Pendidikan yang Serba Praktis?

5 Oktober 2025   08:25 Diperbarui: 5 Oktober 2025   08:25 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu melihat rapor anak atau adik Anda? Deretan angka-angka presisi matematika 95, IPA 92, bahasa Inggris 89. Di sebelahnya, mungkin ada target lulus ujian standardisasi, skor TOEFL, atau sertifikat keahlian yang harus dikejar. Sekolah seolah berubah menjadi arena pacu kuda, dimana siswa dilatih untuk melompat lebih tinggi dan berlari lebih cepat, semata-mata demi mencapai garis finis yang bernama siap kerja atau lolos seleksi universitas favorit.

Di tengah hiruk pikuk target dan angka ini, sebuah pertanyaan sunyi namun mengusik sering kali muncul di benak kita: Apakah tujuan pendidikan hanya sebatas ini? Apakah kita sedang mendidik manusia atau sekadar mencetak tenaga kerja terampil? Ketika semua diukur dengan hasil yang tampak, masih adakah ruang untuk mendidik hati, membentuk nurani, dan menumbuhkan manusia seutuhnya? Jangan-jangan, kita telah begitu sibuk membangun kecerdasan otak, hingga lupa menyirami kebun jiwa.

Pendidikan yang Kehilangan Ruh

Pembahasan tentang idealisme dalam pendidikan hari ini mungkin terasa seperti nostalgia usang. Di era dimana startup, coding, dan digital marketing menjadi mantra kesuksesan, berbicara tentang ide, nilai, dan karakter terdengar kurang menjual. Dunia menuntut kecepatan dan kepraktisan. Kurikulum didesain untuk menjawab kebutuhan industri, dan keberhasilan seorang siswa sering kali diukur dari seberapa cepat ia mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi.

Inilah tantangan terbesar pendidikan modern. Orientasi pada hasil yang instan dan terukur secara perlahan mengikis esensi pendidikan itu sendiri. Sistem digital yang seharusnya menjadi alat, terkadang justru mendikte tujuan. Siswa dibanjiri informasi, tetapi kering dalam perenungan. Mereka mahir mengoperasikan gawai, tetapi gagap dalam membangun empati. Fenomena ini bukan isapan jempol. Kita melihat dampaknya dalam kehidupan sosial: maraknya perundungan siber, mudahnya masyarakat terhasut berita bohong, hingga krisis karakter yang tecermin dari perilaku koruptif yang seolah menjadi hal biasa.

Ketika pendidikan terlalu fokus pada apa yang bisa kamu lakukan dan melupakan kamu harus menjadi manusia seperti apa, ia sedang kehilangan ruhnya. Ia menjadi proses mekanis transfer pengetahuan, bukan lagi sebuah seni memanusiakan manusia. Di sinilah seruan untuk menengok kembali idealisme menjadi penting, bukan sebagai langkah mundur, tetapi sebagai upaya menemukan kembali kompas moral kita yang hilang.

Peta Bernama Idealisme di Tengah Rimba Pragmatisme

Untuk memahami mengapa idealisme penting, kita perlu mundur sejenak dan menyederhanakan konsepnya. Filsafat idealisme, yang akarnya bisa dilacak hingga pemikir Yunani kuno seperti Plato, dan dikembangkan oleh filsuf seperti Immanuel Kant, mengajarkan satu gagasan pokok: realitas tertinggi bukanlah materi atau benda yang bisa kita sentuh, melainkan ide, akal budi, dan jiwa.

Bayangkan seorang arsitek yang akan membangun sebuah gedung megah. Sebelum ada satu pun batu bata diletakkan, gedung itu sudah ada dalam bentuk yang paling sempurna: sebagai sebuah ide atau gagasan di benak sang arsitek. Ide itulah yang menjadi panduan, cetak biru (blueprint) yang mengarahkan setiap proses pembangunan. Tanpa ide yang kuat tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, bangunan yang dihasilkan mungkin kokoh, tetapi tidak memiliki jiwa.

Dalam pendidikan, idealisme memandang siswa bukan sebagai bejana kosong yang harus diisi dengan fakta-fakta, melainkan sebagai pribadi yang memiliki potensi akal budi dan spiritualitas. Tugas pendidik, menurut pandangan ini, adalah membantu siswa menggali dan menyadari ide-ide universal tentang kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan. Fokusnya bukan sekadar apa yang harus diketahui, tetapi mengapa ini penting bagi kemanusiaan kita.

Pendidikan idealis menekankan pembentukan karakter sebagai prioritas utama. Mata pelajaran seperti matematika dan sains tidak hanya diajarkan sebagai alat untuk memecahkan soal, tetapi juga sebagai cara melatih logika, ketekunan, dan kekaguman pada keteraturan alam semesta. Sastra dan sejarah diajarkan untuk membangun empati, memahami kompleksitas manusia, dan belajar dari kebijaksanaan masa lalu.

Tidakkah ini terdengar seperti visi pendidikan yang diusung oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara? Konsep "Taman Siswa" yang ia dirikan bukanlah pabrik pencetak pegawai kolonial. Ia adalah sebuah "taman" tempat anak-anak tumbuh sesuai kodratnya, dimana guru (pamong) bertugas menuntun, bukan memaksa. Falsafah Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) adalah cerminan murni dari pendekatan idealis. Guru adalah teladan nilai, bukan sekadar penyampai informasi.

Tentu saja, dunia pendidikan tidak hanya diisi oleh idealisme. Ada pandangan lain seperti pragmatisme yang bertanya, Apa manfaat praktisnya? atau realisme yang menuntut, Fokus pada fakta yang ada di depan mata. Keduanya penting. Kita tidak bisa mendidik anak untuk sekadar menjadi pemikir ulung tanpa kemampuan praktis untuk bertahan hidup. Pendidikan memang harus relevan dengan tuntutan zaman. Namun, pragmatisme dan realisme tanpa fondasi idealisme bisa berbahaya. Ibarat sebuah kapal canggih dengan mesin yang kuat (pragmatisme) dan navigasi GPS yang akurat (realisme), tetapi tidak memiliki kompas penunjuk tujuan dan pelabuhan akhir (idealisme). Kapal itu mungkin bisa berlayar sangat kencang, tetapi ia berlayar tanpa arah, terombang-ambing di lautan, dan bisa berakhir menabrak karang. Idealisme memberikan mengapa nya, sebuah tujuan luhur yang membuat semua usaha belajar menjadi bermakna.

Lalu, bagaimana menerapkannya di era digital? Semangat idealisme bisa diwujudkan dalam hal-hal sederhana. Seorang guru koding, misalnya, tidak hanya mengajar baris-baris perintah, tetapi juga membuka diskusi tentang etika digital, privasi data, dan tanggung jawab seorang programmer. Seorang guru ekonomi tidak hanya membahas cara memaksimalkan laba, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan sosial dan ekonomi berkelanjutan. Di era informasi tak terbatas, peran guru sebagai kurator nilai dan fasilitator berpikir kritis menjadi jauh lebih penting daripada perannya sebagai sumber informasi.

Menemukan Kembali Keseimbangan yang Hilang

Pada akhirnya, pendidikan bukanlah sebuah pilihan antara idealisme atau kepraktisan. Keduanya bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Sebaliknya, pendidikan yang utuh adalah yang mampu menyeimbangkan keduanya. Kita butuh pendidikan yang membumi, yang menyiapkan generasi muda dengan keterampilan relevan untuk menghadapi tantangan zaman. Namun, kita juga butuh pendidikan yang melangit, yang mengajak mereka untuk merenungkan makna hidup, menumbuhkan nurani, dan bercita-cita membangun dunia yang lebih baik.

Pendidikan tanpa idealisme akan menghasilkan robot-robot pintar yang kosong jiwa. Sebaliknya, idealisme tanpa pijakan pada realitas akan menghasilkan para pemimpi yang tak mampu berbuat apa-apa. Tugas kita bersama guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat adalah merajut kembali benang merah antara keduanya.

Mari kita bayangkan kembali rapor anak-anak kita. Di samping deretan angka-angka yang membanggakan itu, mungkin kita perlu ruang untuk menilai hal-hal yang tak terukur: seberapa besar rasa ingin tahunya, seberapa dalam empatinya, seberapa kuat kejujurannya, dan seberapa gigih ia saat menghadapi kegagalan. Karena pada akhirnya, yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar bukanlah sekadar para pekerja terampil, melainkan manusia-manusia berkarakter luhur yang menjadikan pengetahuan sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Idealisme mungkin tidak selalu praktis dalam jangka pendek, tetapi ia adalah investasi terbaik untuk masa depan kemanusiaan kita.

Referensi:

  • Driyarkara (1980): Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda dengan menekankan nilai moral dan humanisasi.

  • Ki Hajar Dewantara (2004): Pendidikan berpusat pada pembentukan karakter dan kebebasan berpikir demi membangun manusia yang beradab.

  • Suryana (2022): Idealisme tetap relevan di era digital karena pendidikan harus memadukan nilai karakter dengan keterampilan teknologi.

  • Handoko & Astuti (2021): Guru berperan sebagai pembimbing nilai agar pendidikan tak sekadar mengejar hasil akademik.

  • Sudarsana (2018): Filsafat idealisme menegaskan pentingnya pendidikan sebagai pengembangan kepribadian dan karakter.

  • Shidqi & Nurhadi (2023): Pendidikan idealis menghidupkan kembali empati dan nilai kemanusiaan di tengah arus pragmatisme

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun