Karya baleganjur berjudul "Pangurip Bumi" yang ditampilkan oleh Duta Kabupaten Tabanan dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII tahun 2025 merupakan bentuk ekspresi seni yang mengangkat tema pelestarian alam dan keseimbangan kosmis. Karya ini lahir dari refleksi terhadap ajaran Tri Hita Karana, yaitu harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, yang menjadi dasar filosofi kehidupan masyarakat Bali. Melalui media musikal baleganjur, Pangurip Bumi menyuarakan pesan ekologis dan spiritual tentang pentingnya menghidupkan kembali bumi yang mulai rusak akibat perilaku manusia modern. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis unsur musikal, koreografis, simbolik, dan nilai estetis yang terkandung dalam karya tersebut.
Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan estetika dan semiotika. Data diperoleh melalui pengamatan terhadap pertunjukan, wawancara dengan pencipta karya, serta studi pustaka mengenai bentuk dan fungsi baleganjur dalam konteks kontemporer. Hasil analisis menunjukkan bahwa Pangurip Bumi memadukan elemen tradisi dan inovasi secara harmonis. Struktur musikalnya terdiri atas empat bagian utama: pengawit, pengawak, pengecet, dan pekaad, yang diolah dengan dinamika kuat, ritme kompleks, serta eksplorasi instrumen gong, kendang, dan ceng-ceng untuk menggambarkan energi kehidupan alam semesta. Koreografi para penabuh disusun dengan simbol gerak ritual, menampilkan kesatuan antara manusia dan alam melalui formasi lingkaran dan gerak spiral.
Makna simbolik karya ini menegaskan proses penyucian bumi (caru), kebangkitan kesadaran ekologis, serta rekonsiliasi manusia dengan alam. Secara estetis, karya ini menonjol karena kemampuannya menghadirkan keseimbangan antara kekuatan musikal dan kedalaman spiritual. Sementara itu, nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya mencerminkan identitas masyarakat agraris Tabanan yang lekat dengan bumi dan kesuburan. Kesimpulannya, Pangurip Bumi bukan sekadar karya pertunjukan, melainkan manifestasi kesadaran ekologis dan spiritual yang diwujudkan melalui bahasa musikal baleganjur. Karya ini memperluas fungsi baleganjur dari sekadar sarana ritual menuju media komunikasi sosial yang sarat pesan kemanusiaan dan lingkungan hidup.
Asal Usul dan Latar Penciptaan Karya Baleganjur "Pangurip Bumi"
1. Latar Sosial dan Budaya
Karya "Pangurip Bumi" lahir dari semangat masyarakat Kabupaten Tabanan, Bali, yang dikenal sebagai daerah agraris dan dijuluki "Lumbung Padi Pulau Dewata." Sebagian besar masyarakat Tabanan hidup dari hasil bumi seperti sawah, ladang, dan hutan. Hubungan antara manusia dan alam di daerah ini bukan hanya bersifat ekonomi, tetapi juga spiritual. Alam dianggap sebagai sumber kehidupan yang suci, tempat bersemayamnya roh dan kekuatan ilahi.
Dalam konteks itulah, muncul kesadaran para seniman muda Tabanan untuk menciptakan karya baleganjur yang merefleksikan hubungan manusia dengan bumi. Mereka melihat fenomena modern seperti pencemaran lingkungan, alih fungsi lahan pertanian, dan bencana alam sebagai tanda terganggunya keseimbangan alam (palemahan). Dari kesadaran inilah muncul gagasan untuk "menghidupkan kembali bumi" Â pangurip bumi.
2. Inspirasi Konseptual: Tri Hita Karana dan Ritual Caru
Secara filosofis, karya ini berakar pada ajaran Tri Hita Karana, yaitu konsep keseimbangan antara: