Mohon tunggu...
Insan Setia Nugraha
Insan Setia Nugraha Mohon Tunggu... wiraswasta -

Full timer blogger. Author. Digital Campaign Strategic.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sama Agama dengan Jokowi

4 November 2014   00:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:46 2432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agama itu tak mati-mati karena agama bernyawa banyak. Saya sepenuhnya sepakat dengan gagasan inti Prof. Komarudin Hidayat dalam bukunya Agama Punya Seribu Nyawa.

Edan! Bagaimana tidak? Bahkan ajaran ortodoks dari berabad-abad silam yang lampau masih saja terus eksis di sebuah dunia yang tertata dalam lanskap rasionalisme dengan kebergantungan nyaris sepenuhnya pada teknologi. Tapi eksis atau “masih ada” itu masihlah belum seberapa. Ada hal lain yang lebih mencengangkan: masih banyak kelompok yang tak hanya meyakini ajaran dan menjalankan agama, namun dengan sistemik dan masif terus menerus melakukan usaha puritansi yang kita tahu hal ini kerap berujung pada militansi. Seraya berdiri dan menengadah, mereka menantang angkuhnya modernisme.

Perjalanan “membunuh” agama adalah perjalanan panjang nan berdarah-darah, bernanah-nanah. Sejarah mempertontonkan pada kita bahwa selalu saja muncul sekelompok pemikir dan gerakan politik-ideologis yang dengan begitu terbuka dan terang-terangan membenci agama serta berusaha mengenyahkannya dari kehidupan masyarakat. Satu yang paling radikal misalnya paham-gerakan komunisme-atheisme. Dipimpin panglimanya, Marx dan Lenin (dan saya ingin memasukan satu nama dari salah seorang penerusnya: Mao Zedong) begitu bersemangat melakukan berbagai upaya untuk membunuh agama bahkan dengan menghalalkan segala cara. Tapi, kembali sejarah mempertontonkan pada kita semua: mereka gagal. Kalah telak. Alih-alih menghabisi agama, justru mereka yang tergerus dan ahirnya mati suri.

Dalam filsafat modern pun upaya untuk “menginsyafkan” para pemeluk agama terus berlangsung. Para filsuf dan ilmuwan kontemporer seperti Richard Dawkin, Christopher Hitchens, Sam Haris, dan lainnya mereka membangun—dan menyebarkan—argumen ilmiah-rasional untuk memfalsifikasi kebenaran agama. Mereka hendak mengumumkan pada semua manusia bahwa dalil, ritus, keyakinan dan pengalaman kegamaan itu semuanya palsu belaka. Syahdan, beberapa puluh tahun silam, salah seorang pemikir besar, anak kandung dari modernisme, Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis menyatakan bahwa pada saat individu mulai berpikir tentang “dari mana aku berasal”, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial lainnya yang bersifat “ilahiah”, maka individu tersebut telah dapat dinyatakan memiliki gangguan jiwa!

Tanpa menganulir ikhtiar dan beberapa keberhasilan kecil mereka, sejarah mencatat bahwa usaha yang mereka bangun itu sia-sia. Hari ini, para pemeluk agama (dengan ataupun tanpa institusi konvensional), ajaran, ritus dan simbol agama masih terus ada dan justru tumbuh menguat. Alih-alih tercerabut, agama justru berkecambah dalam kehidupan masyarakat modern. Bukannya mati terbunuh, agama malah tetap hidup dan tumbuh. Semua upaya membunuhnya gagal. Karena agama bernyawa banyak.

Dalam bentuk dan derajatnya yang lain (sehingga saya tak berhak dianggap memperbandingkan apalagi menyamakan) Jokowi pun mengalami hal serupa: bernyawa banyak.

Berbagai rentetan upaya pembunuhan politik padanya tak ada satu pun yang benar-benar berhasil. Hembusan isu kinerja dan “ingkar janji” sewaktu ia masih menjabat walikota Solo dan diperintah Megawati untuk berlaga di DKI I tak berhasil menghabisi Jokowi. Yang ada justru ia menang dan semakin besar.

Dan ini yang paling dramatis: rangkaian usaha “pembunuhan” Jokowi dalam laga politik Pilpres 2014 yang dilancarkankan koalisi Prabowo dengan begitu sistemik dan masif tak kuasa membunuh wong ndeso yang satu ini. Mulai dari character assassination; isu agama, etnis, citra yang penuh rekayasa, kapabiitas pribadi, bahkan tampang-fisik. Emaskulasi profesioanlitas; runtutan “catatan negatif” kinerja di Jakarta, isu korupsi, etika publik. Hingga politik adu domba; mengadu domba Jokowi dengan internal PDIP di satu sisi dan PDIP dengan relawan juga partai koalisi di sisi lain, tak juga berhasil menjegal apalagi menumbangkan Jokowi. Ia tetap jalan melenggang di Pilpres sampai akhirnya kita semua menonton pemberitaan di TV tentang hajatan para pendukung Jokowi.

Tapi mungkin Jokowi lebih mengherankan dibanding dengan agama; suatu entitas spiritualitas yang dipercaya dan dibela banyak individu lintas generasi dan kelas yang mana secara persentase jauh lebih masif dibandingkan dengan para pembencinya. Tapi Jokowi. Individu biasa, bahkan mungkin lemah dari banyak sisi, dikeroyok oleh banyak pihak dengan—asalanya--sebegitu minim pembela. Hanya bermodal titah dari ketua umum partainya, Jokowi dengan “nyawa”nya yang banyak itu terus hidup dan berjalan sampai akhirnya menjadi agen nomor satu yang “menghidup” banyak nyawa.

Dalam konteks ini, saya takjub dengan Megawati—terlepas dari berbagai kemungkinan kekurangannya—yang telah sanggup melamapui dirinya sendiri; mengelak dari syahwat politik pribadi, kelompok dan trahnya; sesuatu yang kerap ditudingkan publik pada dirinya. Kepercayaannya yang bulat telah menjadi “ruh” dalam diri Jokowi yang membuat ia akhirnya “bernyawa” banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun