Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Solusi Calon Tunggal Pilkada Serentak

31 Juli 2015   12:31 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:52 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesuai rilis KPU yang terbaru 30 Juli 2015, bahwa dari 269 daerah yang dijadwalkan ikut pilkada serentak 9 Desember 2015 masih ada 12 daerah dengan pasangan calon tunggal. Daerah tsb. adalah: Kabupaten Asahan (Sumatera Utara), Kabupaten Serang (Banten), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), Kabupaten Timur Tengah Utara (NTT), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Minahasa Selatan (Sulawesi Utara), Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat).

Sedangkan ada satu daerah tanpa pasangan calon, yakni Kabupaten Bolaang Mongongdow Timur (Sulawesi Utara). Untuk daerah yang tanpa pasangan calon, bahkan jika sudah diberi tambahan waktu pendaftaran tetap tidak ada yang mendaftar, maka sebaiknya pelaksanaan pilkada ditunda ke pilkada serentak berikutnya. Namun untuk 12 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon atau hanya memiliki calon tunggal, sebaiknya diberikan solusi yang tertuang dalam revisi UU Pilkada atau Perppu yang diturunkan menjadi Peraturan KPU (PKPU).

Berikut ini penulis mencoba memberikan solusi untuk permasalahan calon tunggal pilkada serentak, baik untuk tahun 2015 ini maupun pilkada serentak tahun-tahun mendatang.

Solusi calon tunggal pilkada serentak berdasarkan kondisi:

  1. Jika calon tunggal didukung oleh 50%+1 atau lebih suara parpol, maka calon tunggal kepala daerah dapat langsung dilantik tanpa pilkada. Dana pilkada bisa dialokasikan untuk dana kesehatan, pendidikan dan bantuan kepada rakyat miskin (solusi ini lebih mengutamakan asas kemanfaatan dan efisiensi).
  2. Jika calon tunggal didukung oleh 30%-50% suara parpol, maka dilakukan pilkada dengan meminta persetujuan pemilih. Dalam kertas suara pemilih dituliskan: "Setujukah Anda jika pasangan A-B dipilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota?”. Jika persentase setuju di atas 50%, pasangan calon bisa dilantik, namun jika persentase setuju <=50%, lanjut ke kondisi 3. Oleh mendagri, solusi seperti ini disebut seperti melawan “bumbung kosong” seperti pada pemilihan kepala desa (pilkades).
  3. Jika calon tunggal didukung <30% suara parpol atau <=50% tidak setuju pada pilkada 'persetujuan' (kondisi 2) atau calon tunggal berasal dari calon independen/perseorangan maka pilkada serentak ditunda ke pilkada serentak berikutnya (tentunya setelah dilakukan perpanjangan pendaftaran, masih ada hanya 1 pasangan calon) dan ditunjuk Pjs kepala daerah untuk menghindari kekosongan pemerintahan di daerah, jika masa jabatan kepala daerah sudah habis.

Namun demikian, penulis menyadari bahwa solusi di atas cukup rentan terhadap kecurangan, misalnya untuk mencapai kondisi 50%+1 bisa saja pasangan calon melakukan intimidasi atau rekayasa atau politik uang kepada partai politik lain. Namun demikian kita berharap badan pengawas pemilu dan KPU provinsi/kabupaten/kota melakukan fungsinya dengan baik, sehingga jika ditemukan indikasi praktek kecurangan dan dapat dibuktikan secara hukum maka pasangan calon tersebut harus digugurkan bahkan dilarang mengikuti pilkada berikutnya dan dilakukan penindakan secara hukum.

Mengapa penulis mengusulkan solusi no. 1 yang oleh sebagian orang dianggap bertentangan dengan asas demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat)? Setidaknya ada 3 argumentasi penulis.

Pertama, solusi no. 1 sebenarnya tidak bisa juga disebut tidak demokratis. Ini seperti pilkada oleh DPRD (pilkada tidak langsung atau pilkada perwakilan sesuai sila ke-4 Pancasila…… dalam permusyawaratan/perwakilan). Parpol yang mencalonkan pasangan kepala daerah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum legislatif (dalam hal ini pemilihan umum DPRD).

Kedua, solusi no. 1 mempertimbangkan efisiensi dan kemanfaatan. Jika secara aklamasi sudah dapat ditentukan/dipilih kepala daerah maka anggaran untuk pilkada bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain seperti bantuan pendidikan, kesehatan, bantuan kepada rakyat miskin dan perbaikan sarana/prasarana di daerah tersebut.

Ketiga, khusus untuk pasangan calon tunggal dari incumbent (petahana), jika pilkada harus ditunda pelaksanaannya maka kesinambungan pembangunan suatu daerah dapat terganggu karena calon tunggal dari petahana yang berprestasi dan berhasil membangun daerahnya harus digantikan sementara oleh pejabat sementara (Pjs.) sampai pilkada berikutnya (ins.saputra).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun