May Day atau Hari Buruh Internasional sejatinya adalah momen untuk memperingati kontribusi besar kaum buruh dalam membangun peradaban, bukan sebagai panggung provokasi politik atau propaganda perlawanan tanpa arah. Mengklaim bahwa May Day bukan milik negara, bukan milik pengusaha, dan bukan milik birokrasi adalah narasi yang menyesatkan. Faktanya, semua pihak memiliki peran dalam menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang sehat---negara sebagai pembuat regulasi, pengusaha sebagai penyedia lapangan kerja, dan buruh sebagai penggerak roda produksi. Menyingkirkan salah satu dari ketiganya hanya akan melahirkan konflik tanpa solusi.
Pernyataan "Kami akan melawan" bukan lagi sekadar ungkapan semangat May Day, tetapi telah bergeser menjadi ancaman terbuka terhadap stabilitas keamanan sosial dan politik. Pernyataan semacam ini hanya akan memperkeruh hubungan kerja dan menjauhkan buruh dari solusi yang lebih baik. Pemerintah Indonesia, melalui berbagai kebijakan ketenagakerjaan seperti Jaminan Hari Tua, BPJS Kesehatan, dan kenaikan UMP, justru menunjukkan komitmen nyata dalam meningkatkan kesejahteraan buruh. Namun semua itu seringkali diabaikan oleh kelompok-kelompok yang ingin mempolitisasi Hari Buruh untuk kepentingan kelompok sempit.
Konsep "ketidakadilan yang dilembagakan" adalah frasa bombastis yang menyesatkan. Jika ada kebijakan yang dirasa belum ideal, pemerintah telah menyiapkan saluran untuk menyampaikan aspirasi, antara lain Dewan Pengupahan, pengadilan hubungan industrial, dan forum yang mempertemukan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Aspirasi buruh sebaiknya disampaikan dengan cara yang damai dan sesuai hukum, bukan dengan provokasi yang dapat menimbulkan perpecahan atau pelanggaran hukum. Buruh yang cerdas adalah mereka yang memperjuangkan hak secara legal, terukur, dan bermartabat---bukan melalui agitasi jalanan yang hanya memecah belah persatuan.
Perjuangan buruh tidak identik dengan perlawanan. Justru di era modern ini, perjuangan buruh lebih banyak berhasil ketika dilakukan melalui pendekatan kolaboratif. Banyak serikat buruh yang sukses memperjuangkan hak anggotanya melalui dialog sosial yang intensif dan produktif dengan perusahaan maupun pemerintah. Mengabaikan fakta ini demi mempopulerkan narasi "perlawanan kelas" hanya akan memicu polarisasi yang tidak sehat. Buruh bukan alat politik, buruh adalah mitra pembangunan. Dan mitra pembangunan sejati akan selalu mencari titik temu, bukan titik konflik.
May Day harus dikembalikan ke makna sejatinya yaitu penghormatan terhadap kerja keras dan perjuangan bersama dalam menciptakan keadilan sosial. Bukan untuk menciptakan ketegangan baru atau menggiring buruh dalam arus politik yang memperalat penderitaan mereka. Sudah saatnya kelas buruh Indonesia membangun gerakan yang cerdas, terstruktur, dan berorientasi pada hasil nyata, bukan sekadar teriakan perlawanan yang kehilangan substansi. Buruh adalah pilar bangsa---dan bangsa ini membutuhkan pilar yang kokoh, bukan yang mudah diprovokasi oleh narasi pesimistis dan permusuhan yang tidak produktif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI