Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wartawan Mencari ’Fatwa’

15 Desember 2010   08:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:43 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sikap wartawan yang datang ke workshop jurnalisme empati di LP3Y Yogya selalu mengharapkan kehadiran ulama sebagai pembicara menunjukkan masalah HIV/AIDS seakan-akan hanya menjadi persoalan bagi Islam. Bahkan, ada saja peserta yang selalu mengutip Alquran dalam pembahasan tentang HIV/AIDS.

Agaknya, hal ini terjadi karena selama ini berkembang mitos yang mengaitkan penularan HIV dengan gay, homoseks, pelacuran, zina dan lain-lain yang semuanya dilarang dalam Islam. Celakanya, lagi seolah-olah hanya Islam pula yang melarang homoseks, zina dan lain-lain. Ini terjadi, lagi-lagi karena mitos.

Kita sering menuding Barat sebagai masyarakat yang "menghalalkan" zina melalui pandangan yang sangat sempit dengan melihat gejala free love (di Indonesia disebut seks bebas, istilah ini sendiri tidak dikenal di Barat, sebagai gambaran hal ini sudah dibahas pada tulisan Menyoal Seks Bebas Remaja, HindarAIDS No. 53). Padahal, free love hanyalah merupakan perilaku orang per orang pada suatu komunitas bukan perilaku masyarakat (Barat). Di sebagian masyarakat kita dikenal kumpul kebo. Bahkan, pada acara nikah massal ada yang sudah beranak cucu. Ini menunjukkan selama ini mereka belum terikat dalam pernikahan yang sah. Jadi, seks bebas itu bukan (hanya) milik Barat.

Agaknya, banyak di antara kita yang terpengaruh kepada film-film Hollywood. Padahal, film itu dibuat untuk hiburan. Maka, seorang teman saya yang bertugas ke AS, misalnya, gigit jari karena selama di sana dia tidak bisa menggaet cewek seperti yang dilihatnya di film: masuk bar, ketemu cewek langsung ajak ke tempat tidur. Bahkan, ada tiga pegawai kejaksaan yang tugas belajar ke AS digugat oleh seorang wanita karena melakukan pelecehan yang di Indonesia hal itu amat lumrah.

Jadi, jika wartawan tetap mengait-ngaitkan seks bebas dengan epidemi HIV upaya-upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat agar melindungi dirinya sendiri secara aktif agar tidak tertular dan menularkan HIV akan sia-sia. Penularan terjadi bukan karena sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah), tetapi kondisi hubungan seks (salah satu HIV-positif dan tidak menerapkan seks aman).

Pengalaman Baby Jim Aditya, pemerhati masalah HIV/AIDS di Jakarta, ketika ceramah di Depok, akhir September lalu, juga menunjukkan masih saja ada cara berpikir yang rancu. Seorang peserta mengatakan di negara-negara Islam, termasuk Indonesia, angka HIV/AIDS lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara nonmuslim. Artinya, peserta tadi melihat HIV/AIDS membedakan agama. Ini jelas tidak objektif karena angka HIV/AIDS di beberapa negara Afrika Islam jauh lebih tinggi daripada di negara nonmuslim di Barat. Lagi pula, sistem surveilans di negara-negara maju nonmuslim berjalan rutin dan penduduknya pun sangat peduli terhadap kesehatan. Jika penyebab sakit tidak diketahui secara pasti mereka menerima konseling dan dianjurkan untuk tes HIV kalau mereka berperilaku yang bersiko tinggi terinfeksi HIV. Sedangkan di Indonesia tidak ada sistem surveilans yang konsisten.

Lagi pula dalam masalah HIV/AIDS, seperti dikemukakan oleh Bang Hadi (Direktur LP3Y), fakta medis HIV/AIDS dibawa ke social settings (realitas sosial) bukan untuk dipersoalkan dari aspek agama. Kalau wartawan kemudian mengharapkan ulama, ini pun jelas tidak tepat karena pemuka agama lain pun perlu berbicara. HIV/AIDS jelas sebagai fakta medis yang diperoleh dari diagnosis yang dapat dibuktikan secara ilmiah.

Namun, karena wartawan sudah membalut diri dengan moral dan sudah pula dirasuki mitos mereka pun mengharapkan fatwa dari ulama tentang Odha. Ini jelas tidak mempunyai penalaran karena seseorang yang tertular HIV tidak selamanya terkait dengan urusan agama (Islam). Buktinya, seseorang yang tertular dari transfusi darah: Apa kaitannya dengan agama? Begitu pula dengan seorang istri yang tertular dari suaminya melalui hubungan seks yang halal karena dalam ikatan nikah yang sah: Apa hubungannya dengan fatwa ulama?

Kalau HIV sebagai virus dianggap sebagai najis, seperti yang pernah dikemukakan oleh seorang wartawan peserta workshop angkatan XII/Mei 2000, tentu semua kita membawa-bawa najis karena vaksin yang disuntikkan atau dimasukkan lewat mulut juga virus.

Dalam kaitan infeksi HIV tentulah dokter yang paling berperan karena berkaitan dengan pengobatan. Tentu tidak mungkin ulama bisa menurunkan risiko penularan HIV dari seorang ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ini jelas pekerjaan dokter. Kalau berbicara soal upaya-upaya lain, ini pun tidak harus ulama karena siapa pun bisa menghibur seseorang yang terinfeksi HIV agar tetap percaya diri dan menjaga kondisi agar bisa memperlambat pencapaian masa AIDS. ***

[Sumber: Syaiful W. Harahap, Catatan Kecil dari Workshop PMP AIDS. Bagian VII, NewsletterHindarAIDS No. 55, 16 Oktober 2000]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun