Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Naked Power" Dipakai oleh Perawat Melakukan Pelecehan Seksual kepada Pasien yang Tak Berdaya

27 Januari 2018   14:55 Diperbarui: 28 Januari 2018   15:41 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: thehtgroup.com)

Malang benar nasib pasien perempuan di sebuah rumah sakit di Surabaya ini. Masih dalam kondisi pengaruh anestesi (obat bius) setelah operasi bukan dilayani agar cepat siuman, tapi, maaf, digerayangi oleh seorang laki-laki perawat yang berperan sebagai asisten anestesi.

Yang dilakukan perawat tsb. jelas merupakan cara-cara laki-laki pengecut yang memanfaatkan posisinya sebagai pihak yang memegang kendali (powerfull dan voicefull) sedanngkan pasien ada pada posisi tidak berdaya (powerless danvoiceless). Ini dikenal sebagai relasi yang timpang dengan memakai kekuasaan telanjang (naked power) untuk melampiaskan kebejatannya (Baca juga: "Naked Power" Alat untuk Lakukan Pelecehan dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan).

Polisi yang menangani kasus ini menjerat pelaku dengan pasal 290 KUHP dengan ancaman 7 tahun penjara. Vonis kelak bisa saja rendah bahkan bebas. Sementara korban menderita lahir dan batin seumur hidup. Selain itu pengalaman menunjukkan banyak kalangan, terutama perempuan, yang memakai baju moral justru menyalahkan korban peleccehan dan kekerasan seksual. Mereka akan mengatakan: Itulah mengapa tidak dijada keluarga. Makanya, dijaga. Dst ....

Berkaca pada kasus-kasus kejahatan seksual yang kian masif di Indonesia, maka sudah saatnya ada UU yang mengatur hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Mumpung RUU KUHP masih dalam pembahasan maka pasal-pasal tentang kejahatan seksual perlu lebih tegas dengan sanksi yang berat (Baca juga: Mendesak, UU yang Lindungi Perempuan dari Kejahilan dan Kejahatan Laki-laki).

Buktinya, dalam kasus kematian Y, gadis remaja berumur 14 tahun yang diperkosa dan dibunuh 14 begundal di Bengkulu justru dapat pembelaan.  Ada dua menteri perempuan di Kabinet Kerja salah satu menyalahkan miras dan pornografi sedangkan menteri yang satu lagi menyalahkan orang tua korban karena membiark korban sendirian pergi dan pulang sekolah (Baca juga: Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ....").

Relasi yang tidak seimbang jadi kekuatan bagi pemegang kekuasaan dan bencana bagi bawahan, anak buah atau staf untuk melakukan berbagai tindakan yang melawan hukum.  Seperti yang dilakujkan trsangka kasus pelecehan seksual terhadap pasien di National Hospital Surabaya merupakan bentuk relasi yang tidak seimbang. Tersangka pelaku, JN (30), dilaporkan sudah ditangkap polisi (tribunnews.com, 27/1-2018).

Laporan tribunnews.com (27/1-2018) menebutkan kasus pelecehan seksual di Rumah Sakit National Hospital Surabaya ternyata bukan yang pertama kali. Pada Agustus 2017, Polda Jatim pernah memproses laporan dugaan pencabulan oleh seorang dokter kepada calon perawat. Dalam konteks ini juga terjadi pemakaian 'naked power' karena posisi perawat berada di bawah kekuasaan dokter.

Kita patut berkaca ke kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter olimpiade AS, Larry Nassar , terhadap 157 atlet pengadilan mengganjar dokter ini dengan hukuman penjara 175 tahun. Padahal, banyak orang yang menuding negara itu sebagai negara yang tidak beradab. Kalau kita bandingkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual di AS dan di Indonesia dari sisi moral: bangsa mana yang lebih mengedepakan moral?

Pandangan yang tidak objektif terhadap perempuan terjadi karena berbagai faktor, misalnya, pemahaman keyakinan yang tidak komprehensif dan pola relasi gender di masyarakat yang juga dipengaruhi oleh pandangan patriarkat (Baca juga: Patriarkat Menghadang Peran Perempuan).

Ketika banyak orang tetap ngotot menyalahkan korban kejahatan seksual (baca: perempuan), maka negaralah yang wajib melindungi perempuan agar tidak lagi jadi korban dan memberikan hukuman berat bagi pelaku kejahatan. Bisa juga ada sanksi bagi kalangan yang menyalahkan korban agar jera karena pembelaan masyarakat justru menempatkan pelaku kejahatan seksual sebagai pihak yang benar.

Tidak sedikit kalangan yang justru memberikan panggung kepada pelaku kejahatan untuk membela diri. Pernyataan pelaku-pelaku tsb. selalu membela diri sehingga terkesan korban yang salah. Bahkan, ada pelaku kejahatan seksual yang memakai pakaian yang menggambarkan agama yang dinilai sebagai bagian dari pembelaan diri (Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun