Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Patriarkat Menghadang Peran Perempuan

8 Januari 2011   08:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:50 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERGESERAN paham patriarkhat yaitu tata kekeluar-gaan yang sangat me-mentingkan garis tu-runan bapak sebagai budaya di dunia Barat dan Timur mulai ber-geser ke arah kesama-an peran antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik. Ini terjadi ka-rena masyarakat du-nia melihat dampak buruk dari partiarkhat yang mendorong kesenjangan gender (perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin pada struktur sosial). Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan belahan bumi lain patriarkhat mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman.

Ini terjadi karena perkembangan yang sangat pesat di berbagai sektor kehidupan, seperti politik, teknologi, pemerintahan, moneter, industri, dll. tidak lagi monopoli laki-laki. Masyarakat tidak lagi melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari di ranah domestik dan publik. Laki-laki dan perempuan berperan sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.

Hal itu bisa terjadi karena ada kritik terhadap pemahaman partiarkhat seperti yang terjadi selama ini. Semula ada anggapan bahwa partriarkhat sebagai budaya sehingga merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. Padahal, kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar (Koentjaraningrat, 1974). Maka, partiarkhat sebagai hasil kerja manusia tentu saja bisa diperbaiki atau dibuang.

KETIMPANGAN GENDER

Biar pun angin reformasi global sudah meniupkan kesetaraan gender dan mengikis paham patriarkhat, tapi di Indonesia dan beberapa negara berkembang wacana kesetaraan gender tetap mendapat perlawanan. Ini terjadi karena peran antara laki-laki dan perempuan dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, perempuan selalu berada di pihak yang dirugikan karena tetap dianggap sebagai sub-ordinat dari laki-laki.

Bahkan, di beberapa daerah sebagai laki-laki seorang suami bagaikan ‘raja’ sehingga ‘haram’ melakukan pekerjaan domestik, seperti mencuci, memasak dan mengasuh anak. Sama sekali tidak ada celah untuk berbagai peran antara laki-laki (suami) dengan perempuan (istri) dalam relasi sebagai suami-istri di ranah domestik. Ini lagi-lagi terjadi karena pemahaman yang hanya berdasarkan sudut pandang (memandang sesuatu berdasarkan prasangka) laki-laki sebagai ‘pemimpin’.

Kesetaraan gender akan mendorong kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan di semua sektor kehidupan. Tapi, di Indonesia kesenjangan atau ketimpangan gender terus terjadi baik di ranah domestik maupun publik. Kondisi ini seakan-akan sah karena dilihat dari sudut pandang budaya dan agama.

Karena budaya merupakan karya dan karsa manusia tentu saja bisa berubah sejalan dengan perembangan zaman yang juga mempengaruhi pola pikir dan pandang manusia di komunitasnya terhadap sektor kehidupan sebagai bagian dari budaya. Persoalan muncul jika kesetaraan gender dilihat dengan sudut pandang agama. Maka, kesenjangan tidak menjadi persoalan karena ada dogma (pokok ajaran tentang kepercayaan, dsb. yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan) yang ’membenarkan’ hal itu.

Terkait dengan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik ada pemahaman yang keliru di masyarakat yaitu tidak ada pemahaman yang komprehensif tentang perbedaan antara kodrat dan gender. Padahal, kodrat adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara fisik sebagai sifat atau kondisi yang dibawa sejak lahir dan tidak akan berubah. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari konstruksi sosial yang berbeda di setiap komunitas sosial. Tapi, karena selama ini peran antara perempuan dan laki-laki selalu dilihat dari sudut pandang (angle) budaya dan agama maka yang terjadi adalah perbedaan peran berdasarkan fisik secara kodrati. Untuk membuka wawasan tentang kesetaraan gender dipakai perspektif yaitu melukiskan sesuatu yang berpijak pada fakta empiris sebagai realitas sosial di social settings.

Sudut pandanglah yang membuat perempuan kian terpuruk karena selalu melihat perbedaan peran dari segi fisik. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian tingkat partisipasi aktif perempuan di dunia pendidikan formal di bawah laki-laki. Persentase perempuan yang menyandang gelar sarjana, misalnya, diperkirakan tidak lebih dari lima persen. Kesenjangan di dunia pendidikan formal pun dapat dilihat dari persentase buta huruf di kalangan perempuan yang jauh lebih besar daripada laki-laki. Tahun 2007 prosentase perempuan yang buta huruf hampir dua kali lebih banyak daripada laki-laki, yaitu 9,47 persen untuk perempuan dan 5,2 persen laki-laki.

Sejak otonomi diberlakukan berdarakan UU tahun 2001 kekuasaan pun berpindah dari pusat ke daerah. Ketika itu ditiupkan angin sorga bahwa otonomi akan membawa perubahan. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Partiarkhat dan dominasi budaya lokal kian kental yang berujung pada peminggiran perempuan dan penolakan terhadap pendatang. Muncullah PAD yaitu putra asli daerah. Padahal, Rasullullah pun ’merantau’ dari Mekkah ke Madinah yang kemudian dikenal sebagai hijrah. Dalam napas otonomi sekrang ini tidak ada lagi celah bagi kalangan pendatang di satu daerah untuk berperan di banyak sektor kehidupan, terutama di sektor eksekutif.

DISKRIMINASI DAN STIGMATISASI

Pemasungan terhadap hak-hak perempuan dalam konteks kesetaraan gender dilegalkan melalui peraturan daerah (Perda) di banyak daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Perda-perda itu ’berlindung’ di balik syariat (Islam). Di Sumatara Barat, misalnya, ada perda anti maksiat yang melarang perempuan keluar malam. Ini terjadi karena sudut pandang yang hanya melihat perempuan sebagai biang keladi kemaksiatan. Ini menyesatkan karena sudah terjadi pemberian cap buruk (stigmatisasi) terhadap perempuan.

Begitu pula dengan di Kota Tangerang, Prov. Banten, ada perda yang menohok perempuan. Pasal 4 ayat (1) disebutkan: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.

Maka, seorang istri yang menunggu suami di tepi jalan pun ditangkap. Tuduhan terhadap perempuan ini kian kuat karena ditemukan alat kosmetik di dalam tasnya.Posisi perempuan kian terpuruk ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang berujung pada aborsi. Yang disalahkan selalu perempuan yang melakukan aborsi padahal mereka melakukannya karena ulah laki-laki yang menghamili serta dorongan atau paksaan dari pihak lain. Hal yang sama terjadi pada pelajar, pegawai atau karyawan perempuan yang hamil. Yang dipecat selalu perempuan yang hamil sedangkan laki-laki yang menghamili tidak dipecat. Ini terjadi karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang harus menjaga kehormatan. Di kitab suci tidak ada ayat yang eksplisit mengatur perkosaan. Akibatnya, perkosaan dianggap sebagai perzinaan yang justru merugikan perempuan yang diperkosa karena dia dipaksa melakukannya tapi mendapat hukuman sebagai pezina.

Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi CEDAW yaitu penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No. 7/1984. Tapi, realitas sosial menunjukkan perempuan tetap mengalami diskriminasi dan stigmatisasi di berbagai sektor kehidupan baik di ruang domestik maupun ruang publik.

Seorang perempuan dianggap tidak mampu menghidupi keluarga jika dia seorang diri, misalnya, sebagai janda. Tapi, laki-laki dengan penghasilan yang sama dianggap mampu menghidupi keluarga dengan status kepala keluarga. Bahkan, ketika laki-laki beristri lebih dari satu tidak pernah dipersoalkan apakah dia mampu menghidupi istri-istri dan anak-anaknya. Sebaliknya, seorang janda akan menerima cibiran sebagai penggoda suami ketika dia memilih untuk menjalani hidup sendiri.

Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) do Indonesia tertinggi di Asia. Tahun 2002 kematian ibu melahirkan mencapai 307 per 100.000 kelahiran. Angka ini 65 kali angka kematian ibu di Singapura, 9,5 kali dari Malaysia, serta 2,5 kali lipat dari Filipina.

AKI yang tinggi di Indonesia terkait pula dengan partiarkhat yang menempatkan perempuan tidak mempunyai hak atas dirinya, terutama kesehatan reproduksi. Perempuan tidak bisa menentukan kapan dia hamil dan berapa anak yang akan dilahirkannya. Begitu pula dengan program keluarga berencana (KB) yang memakai alat kontrasepsi juga perempuan.

Celakanya, semua yang terjadi terhadap perempuan selalu dianggap sebagai bagian dari ’nasib’ mereka. Untuk itulah diperlukan terobosan yaitu mereduksi budaya patriarkhat, mengikis budaya feodal, dan memandang perempuan dengan perspektif dalam khazanah kehidupan bernegara. * Syaiful W Harahap, Koresponden Khusus SKH  “Swara Kita” di Jakarta.

[Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado, 7 November 2009]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun