* Renungan pada Pekan Anti Korupsi Sedunia 2013
Hiruk-pikuk anti korupsi membahana, tapi langkah-langkah konkret untuk memberantasi korupsi [KBBI: penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain] tidak menyentuh sampai ke akar (pelaku) korupsi.
Sebagian orang ketika mahasiswa jadi militant dalam menyuarakan antikorupsi. Tapi, setelah mendapat posisi yang empuk di pemerintahan, legislatif dan yudikatif malah jadi pelaku korupsi alias koruptor [KBBI: orang yang melakukan korupsi; orang yang menyelewengkan (menggelapkan) uang negara (perusahaan) tempat kerjanya].
Di lingkup terkecil pun, seperti keluarga, langkah konkret untuk memberantas korupsi tidak ada.
Misalnya, seorang ayah yang melihat anaknya membeli kendaraan bermotor yang jauh dari jangkuan penghasilannya tidak pernah dipersoalkan. Bahkan, ada keluarga cenderung merasa bangga jika anak atau menantu bisa hidup mewah yang jauh dari kepatutan penghasilannya.
Kalau saja seorang ayah atau istri bertanya kepada anak atau suaminya tentang asal-usul uang yang dipakai membeli rumah atau kendaraan bermotor tentulah sudah merupakan langkah awal pemberantasan korupsi dan kejahatan lain.
Begitu juga dengan mahasiswa tentu bisa berpikir lateral: dari mana orang taunya mendapatkan uang untuk membiayai kuliahnya.
Mahsiswa bisa bertolak dari penghasilan orang tua. Apakah dengan penghasilan tsb. memungkinkan orang tuanya membiayai pendidikannya.
Untuk itulah diharapkan agar besaran gaji PNS dibuka secara transparan. Celakanya, baru dua pejabat yang dengan sukarela membuka slip gajinya di internet yaitu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama.
Salah satu langkah yang diwacanakan untuk memberantas korupsi adalah pembuktian terbalik. Setiap orang yang memiliki uang dengan jumlah yang tidak wajar jika ditilik dari penghasilan resmi, maka harus memberikan keterangan tentang asal-usul uang tsb.
Perbankan sendiri sudah mengatur transaksi di atas Rp 100 juta harus mengisi formulir tentang asal-usul uang. Tapi, apakah regulasi itu diberlakukan secara adil?
Terkait dengan pembuktian terbalik, maka rumah-rumah judi memberikan surat keterangan tentang asal-usul uang sehingga tidak jadi masalah jika ditransfer atau dibawa pulang. Artinya, uang tsb. legal dari rumah judi yang juga legal.
Sanksi sosial pun tampaknya tidak ada lagi bagi para koruptor karena beberapa pejabat negara yang keluar dari penjara karena kasus korupsi justru disambut bak pahlawan.
Banyak orang yang tidak tidak mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dengan alasan gaji atau penghasilannya di bawah PKP (penghasilan kena pajak), tapi rumah dan kendaraannya berharga ratusan juta rupiah sampai miliran rupiah. Nah, uang yang mereka dapat untuk membeli rumah dan mobil tentulah merupakan penghasilan kena pajak, tapi karena tidak ada NPWP mereka pun lolos dari kewajiban membayar pajak.
Mahasiswa dan aktivis yang sering unjuk rasa terkait dengan korupsi perlu juga dipertanyakan apakah orang tuanya dan dia sendiri mempunyai NPWP.
Alm Gus Dur, Presiden RI Keempat, pernah melempar wacana agar para koruptor menyerahkan uang jarahannya sebanyak 75 persen dan lolos dari jerat hukum. Tapi, ajakan Gus Dur tidak mendapat dukungan.
Pengalaman Teten Masduki, aktivis antikorupsi, ketika mengajak Gus Dur memberantas korupsi justru mendapatkan gambaran ril di masyarakat. Disebutkan bahwa koruptor tidak akan merasa berdosa karena mereka dosa mereka akan hapus jika bertobat.
Maka, tidak ada pilihan lain selain hukuman yang berat dan menyita harta yang terkait dengan korupsi karena sanksi moral dan agama tidak menyurutkan niat banyak orang beragama untuk korupsi.
Langkah itu perlu dilakukan karena dari puluhan koruptor yang sudah dibui, hanya satu yang mengakui yaituAgus Condro, anggota DPR-RI dari PDI-Perjuangan, yang menerima uang melalui cek pelawat (travellers cheque) terkait dengan pemilihan deputi gubernur BI.
Celakanya, biar pun Agus Condro merupakan whistle blower, tapi dia tidak mendapat apresiasi dari partainya, justru pemecatan. Ironis.
Maka, langkah konkret yang arif dan bijaksana untuk memberantas korupsi adalah dengan mengajak setiap orang menjadi polisi bagi dirinya dan keluarganya terkait dengan korupsi.***[Syaiful W. Harahap]***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI