Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Sumenep, Madura: Laki-laki ‘Hidung Belang’ Luput dari Pembinaan MUI

25 Maret 2012   01:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Upaya Dinas Sosial (Dinsos) Sumenep (Madura, Jawa Timur-pen.) membersihkan aksi Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan menggalakkan razia bersama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ternyata sia-sia. Indikasinya, dari 15 PSK yang berhasil terjaring razia ditahun 2011 lalu 90 persen kembali melakukan aksinya di Sumenep.” Ini lead di berita90 Persen PSK Luar Madura Kembali ke Sumenep” (rri.co.id, 23/3-2012).

Ada realitas sosial di balik fakta ini tapi tidak diungkapkan dalam berita, yaitu: PSK bisa melakukan ‘aksinya di Sumenep’ karena di Sumenep ada laki-laki yang membutuhkan PSK. Artinya, ada permintaan (laki-laki) ada pula pasokan (PSK).

Kalau realitas sosial ini yang dijadikan sebagai perspektif dalam menangulangi pelacuran, maka yang jadi sasaran penangulangan bukan hanya PSK. Yang paling utama adalah laki-laki ‘hidung belang’.

Disebutkan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Sumenep, Zainurul Qomari, berdasarkan data di Dinas Sosial, PSK yang berhasil ditangkap dalam kegiatan razia mayoritas berasal dari Luar Madura seperti Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Probolinggo.

Secara sosiologis PSK dari satu daerah akan ‘beroperasi’ di daerah lain. Inilah mobilitas PSK. Dengan data Dinsos itu: Apakah tidak ada perempuan Sumenep yang menjadi PSK?

Dikabarkan bahwa kendati sudah mendapat pembinaan dan direhabilitasi, pelaku penyakit masyarakat (pekat) tersebut mengulangi perbuatannya, bahkan tidak sedikit yang ditengarai kembali ke sejumlah tempat lokalisasi di Sumenep.

Ini merupakan persoalan klasik karena sejak era Orba sudah digalakkan resosialisasi kepada PSK di lokalisasi pelacuran. Tapi, karena beberapa faktor program itu gagal. Misalnya, apakah pendidikan keterampilan menjahit dan tata rias merupakan bekal pekerjaan bagi (mantan) PSK? Tentu saja tidak. Bagi sebagian PSK pekerjaan itu merupakan pilihan. Program itu pun akhirnya bersifat top-down (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).

Disebutkan para PSK yang tertangkap juga diberikan pembinaan mental dan pengetahuan agama oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep, tapi, menurut Zainurul Qomari: ” .... sayangnya masih kembali pada jalan yang salah."

Ini pandangan yang bias gender dan tidak adil. Mengapa hanya PSK yang dibina MUI? Pelacuran bisa terjadi kalau ada laki-laki ’hidung belang’. Tapi, mengapa MUI Sumenep mengabaikan laki-laki ’hidung belang’?

Menurut Zainurul Qomari: ".... sejumlah tempat lokalisasi yang ada khususnya di Sumenep itu ditutup."

Pertanyaan untuk Zainurul Qomari: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada lagi praktek pelacuran di Sumenep kalau lokasi pelacuran ditutup?

Kalau jawabannya BISA, maka itu amat bagus. Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar terkait dengan pelacuran di Sumenep.

Maka, yang diperlukan bukan merazia PSK dan menutup lokasi pelacuran, tapi menghentikan langkah laki-laki ’hidung belang’ agar tidak lagi melacur. Ini artinya membalik paradigma.

Akankah Dinsos Sumenep dan MUI Sumenep bisa membalik paradigma dalam menanggulangi (praktek) pelacuran di Sumenep?

Hasilnya akan bisa diuji yaitu kalau ada istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka itu membuktikan masih ada laki-laki penduduk Sumenep yang ’membeli cinta’ kepada PSK untuk menyalurkan hasrat seksualnya.

Celakanya, laki-laki ’hidung belang’ tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK sehingga mereka tertular HIV. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun