Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beban yang Memberatkan Langkah Mencoblos ke TPS

5 April 2014   16:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13966641271348415094

* Membalik paradigma berpikir MUI, KPU dan Bawaslu

Memberikan suara dalam pemilihan umum, lebih dikenal sebagai pencoblosan, merupakan puncak dari (pesta) demokrasi. Itu artinya yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) melangkah dengan riang gembira. Ini gambaran yang bisa kita lihat di siaran televisi pada pemilu di beberapa negara.

Tapi, lain dengan di Indoenesia. Langkah kaki ke TPS sangat berat dan bagaikan membawa beban yang juga sangat berat.

Ada beban apa, sih?

Di era rezim Orde Baru (Orba) tata cara pencoblosan diatur untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu memenangkan partai penguasa. Maka, pencoblosan pun tidak dihari libur.

Pegawai negeri sipil (PNS) diwajibkan memilih di TPS di dekat kantor mereka. Siswa SLTA juga mencoblos di TPS dekat sekolah, begitu juga dengan mahasiswa yang mencoblos di TPS dekat kampus.

“Saya mau dipecat, Nak.” Itulah surat alm ayah saya, seorang PNS di salah satu instansi di Kota Padangsidimpuan, 450 ke arah selatan Kota Medan, Sumut. Waktu itu saya di Kota Jogja.

Ada apa?

Ternyata di kantor alm. ayah saya hanya satu yang tidak mencoblos peserta pemilu yang berkuasa dan itu diketahui karena surat suara diberi kode.

Surat saya balas. “Minta kepada mereka agar di surat pemecatan disebutkan alasan yang jelas yaitu karena tidak memilih ‘parta penguasa’ pada pemilu tahun sekian.”

Di satu sisi saya bersyukur karena beberapa bulan kemudian ayah saya justru diundang ke Medan menerima penghargaan 20 tahun bekerja.

Tapi, di sisi lain saya rugi karena kalau surat pemecatan itu ada maka surat itu sangat berharga.

Itu yang membuat banyak orang berat melangkah ke TPS karena ada beban yaitu kewajibkan memenangkan partai penguasa. Jajaran pemerintah pun menjadi agen-agen untuk “memaksa” rakyat mencoblos peserta pemilu yang sedang berkuasa.

Kondisi itu berlangsung pada pemilu di masa Orba. Tapi, langkah berat ke TPS tetap terjadi di masa reformasi karena nuansa moral yaitu melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa bahwa tidak mencoblos haram.

Di masa Orde baru berkembang “partai baru” yaitu golongan putih yang lebih dikenal sebagai Golput.

Tekanan terhadap Golput terus terjadi dalam berbagai bentuk dan intimidasi. Pemerintah dan pelaksana pemilu galau karena pada Pemilu 2009 “partai golput” menjadi pemenang dengan perolehan suara sebesar 39,1%.

Bahkan, di era reformasi ini MUI, Komisi Pemilihan Uumm (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bapilu) menempatkan diri sebagai ‘tuhan’ tan ‘hukum’ dengan cara mengintimidasi Golput.

MUI “menyeret” Golput ke neraka. Celakanya, banyak pemeluk Islam yang tidak memahami makna fatwa karena keterbatasan pengetahuan mereka terhadap fiqih. Ada kesan bahwa fatwa MUI merupakan bagian dari ‘perintah’ Tuhan, padahal, fatwa tidak mengikat secara umum. Dalam KBBI fatwa disebutkan: (1) jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah, dan (2) nasihat orang alim; pelajaran baik; petuah.

Celakanya, fatwa MUI ditempatkan sebagai ‘perintah’  Tuhan yang membuat hiruk-pikuk sebagian orang yang pemahaman agamanya rendah. Dan, inilah yang dimanfaatkan oleh banyak kalangan yang pada akhirnya jadi beban.

KPU dengan pongah mengancam pengajak Golput dengan pasal pidana melalui UU NO 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara (detikNews.com. 21/2-2014).

Di ranah realitas soisal ancaman KPU itu dikesankan kepada semua orang yang tidak mau mencoblos alias Golput. Ini yang menyesatkan sehingga menjadi beban bagi pemilih yang tidak memahami UU secara benar. Celakanya, kondisi kebodohan sebagian orang ini pulalah yang dimanfaatkan untuk menakut-nakuti. Tapi, di sisi lain hal itu justru menambah beban karena sebagian orang merasa terpaksa ke TPS hanya karena takut dihukum penjara.

Bertolak dari Fatwa MUI, ancaman KPU dan ‘ketidakberpihakan’ Bawaslu kepada pemilih adalah hal yang naif mengharapkan masyarakat menggunakan hak pilih dengan riang gembira.

Kalau saja cara berpikir MUI, KPU dan Bawaslu memakai pradigma baru yaitu mendorong tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota legislatif yang terpilih.

Caranya adalah dengan menelurkan fatwa dan menerbitkan UU yang menghukum anggota legislatif yang tidak amanah, yaitu anggota dewasa yang sering bolos, tidur ketika persidangan, korupsi, dll. dengan sanksi diberhentikan dan melakukan kerja sosial di lingkungan rakyat yang memilihnya.

Jika cara-cara meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mencoblos tetap dengan cara yang dilakukan MUI, KPU dan Bawaslu seperti sekarang ini, maka tingkat pemilih yang tidak menggunakan haknya akan terus bertambah.

Maka, tidaklah mengerankan kalau kemudian tingkat “Golput” di pilkada (pemilihan kepada daerah), pileg (pemilihan anggota legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden) diperkirakan (akan) terus meningkat. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun