Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS di Kota Mojokerto, Jawa Timur, Ditularkan oleh ‘Gepeng’

7 Juni 2011   21:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biar pun penyangkalan di banyak negara di berbagai belahan dunia sudah jarang terdengar, di Mojokerto, Jawa Timur, justru terjadi penyangkalan. Disebutkan oleh Sekretaris Dinkes Kota Mojokerto Esti Hermawati: "Razia ini kita lakukan untuk menekan angka penularan HIV/AIDS di Kota Mojokerto yang kerap ditularkan oleh gepeng ini." (Gepeng di Kota Mojokerto Dirazia dan Dites HIV/AIDS, detikSurabaya, 7/6-2011).

Pernyataan itu mengabaikan penyebaran HIV terutama yang dilakukan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Mojokerto, asli atau pendatang. Lagi pula, bagaimana cara yang dilakukan Dinkes Kota Mojokerto untuk mengetahui bahwa HIV di Mojokerto disebarkan oleh ‘gepeng’ (gelandangan dan pengemis)?

Dikabarkan: “Untuk menekan angka penularan HIV/AIDS di Kota Mojokerto, Satpol PP dan Dinas Kesehatan melakukan razia gelandangan dan pengemis (gepeng). Hasilnya, 25 gepeng terjaring razia dan langsung dites HIV/AIDS.”

Apa kaitan langsung antara ‘gepeng’ dengan penularan HIV di Mojokerto? Apakah laki-laki dewasa penduduk Mojokerto hanya melakukan perilaku berisiko (hubungan seksual tanpa kondom) dengan ’gepeng’?

Mengaitkan penularan HIV dengan ’gepeng’ bisa diterima kalau di Kota Mojokerto tidak ada (praktek) pelacuran di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di losmen, hotel melati dan hotel berbintang. Apakan di Kota Mojokerto tidak ada (praktek) pelacuran yang terbuka dan terselubung?

Kalau jawabannya TIDAK ADA, maka bisa jadi ’gepeng’ sebagai penyebar HIV. Tapi, kalau jawabannya ADA, maka penyebaran HIV di Kota Mojokerto tidak hanya terkait dengan ’gepeng’. Ternyata di Kota Mojokerto ada lokalisasi pelacuran (Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/hasil-tes-hiv-terhadap-psk-di-mojokerto-bisa-negatif-palsu/).

Disebutkan: “Setelah merazia, lanjut Esti, pihaknya akan melakukan tes HIV/AIDS terhadap ke 25 gepeng tersebut.” Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami HIV/AIDS dengan komprehensif, maka pertanyaan yang diajukan kepada Esti adalah: Apakah tes HIV terhadap gepeng itu dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku?

Soalnya, standar tes HIV, termasuk survailans, harus didahului dengan konseling atau bimbingan agar para ‘gepeng’ itu memahami HIV/AIDS dengan benar. Setelah mereka memahami HIV/AIDS mereka dianjurkan untuk tes HIV. Yang setuju akan memberikan persetujuan (informed consent) lisan atau tertulis. Bagi yang menolak tidak boleh dipaksa. Setelah hasil tes ada dilakukan lagi konseling bagi yang hasil tesnya negative dan positif.

Sayang, wartawan yang menulis berita ini tidak mempersoalkan cara-cara yang dilakukan oleh Dinkes Mojokerto terhapap ‘gepeng’ yang dirazia.

Disebutkan bahwa tes HIV terhadap ‘gepeng’ dilakukan untuk mengetahui tingkat penyebaran penyakit mematikan tersebut di lingkungan gepeng yang ada di Kota Mojokerto.

Jika sudah diketahui tingkat penyebaran HIV di kalangan ‘gepeng’, apa langkah Dinkes Mojokerto?

Agaknya, Dinkes Mojokerto lupa kalau yang menularkan HIV kepada ‘gepeng’ bisa saja laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki tsb. bisa jadi seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, lajang atau remaja.

Menurut Kasatpol Kota Mojokerto, Samsul Hadi, dari beberapa gepeng yang terjaring rata-rata adalah berasal dari luar kota, seperti Jombang, Sidoarjo dan Pasuruan. Sementara dari Kota dan Kabupaten Mojokerto sendiri jumlahnya relatif sedikit.

Secara umum ’gepeng’ di sebuah kota datang dari luar daerah, sedangkan ’gepeng’ kota itu pergi ke kota lain. Hal ini juga terjadi pada pekerja seks komersial (PSK). Mereka akan ’beropers’ di luar daerahnya dengan berbagai alasan. ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun