Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

AIDS, Pernyataan Gegabah Komisioner KPAI

12 April 2019   08:14 Diperbarui: 12 April 2019   08:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: vikaspedia.in)

"Sosialisasi (HIV/AIDS, pen.) itu kan tugas Kementerian Kesehatan. Kalau menurut saya gagal, karena masyarakat masih punya penolakan tinggi seperti ini (penolakan terhadap anak pengidap HIV/AIDS di sekolah-pen.)." Ini pernyataan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Bidang Pendidikan, Retno Listyarti (antaranews.com, 4/4-2019).

Pernyataan Retno tsb. sangat gegabah karena sosialisasi tidak bisa diukur dengan satu indikator. Penggambaran secara umum secara empiris pasti ada pengecualian.

Retno ibarata di 'menara gading' terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Sejak awal epidemi, yang diakui pemerintah sejak April 1987, informasi tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang muncul kemudian adalah mitos (anggapan yang salah).

[Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia]

Penetapan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia salah satu awal mitos yaitu AIDS penyakit orang bule dan AIDS penyakit homoseksual. Ini tergambar dari kasus yang diakui pemerintah yaitu kematian seorang turis Belanda, seorang laki-laki gay, terkait AIDS.

Mitos terus berkembang karena banyak kalangan mulai dari menteri, tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan tenaga medis yang selalu mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan moral. Disebutkan HIV/AIDS menular melalui zina, seks pranikah, seks dengan PSK, homoseksuao, dst. Ini jelas mitos karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali seks. Ini fakta.

Disebutkan dalam berita: KPAI menyatakan kasus penolakan 12 Anak dengan HIV (ADHA) oleh orangtua murid di Solo beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS masih rendah.

Jangankan orang tua murid sebagai masyarakat biasa, di fasilitas kesehatan pun tenaga medis yang memahami HIV/AIDS secara benar tetap saja terjadi penolakan. Apakah KPAI tidak melihat realitas sosial ini?

Dikatakan lagi oleh Retno: Kementerian Kesehatan  bisa melaksanakan kegiatan sosialisasi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Yang terjadi adalah sosialisasi yang menyuburkan mitos. Lihat saja Kementerian Sosial yang membangun tiga Panti Odha (nu.or.id, 5/12-2017). Disebutkan panti ODHA untuk memberikan layanan rehabilitasi sosial orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menyusul semakin mengkhawatirkannya tingkat penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia. Ini jelas menyuburkan stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena Odha tidak perlu direhabilitasi karena tidak ada gejala pada fisik dan keluhan kesehatan terkait AIDS.

Kementerian Agama jelas akan memakai agama sehingga menyuburkan mitos lagi karena informasi akan dikaitkan dengan perilaku nonagamis. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara perilaku beragama dengan penularan HIV/AIDS.

[Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS]

Ada lagi pernyataan Retno: "Bikin iklan layanan masyarakat tapi yang keren. Zaman sekarang kan bisa pakai media sosial. Misalnya durasi satu menit, tapi berisi informasi. Pakai animasi biar menarik, yang penting informasinya sampai."

Bagaimana membuat iklan layanan masyarakat yang keren kalau informasi tentang HIV/AIDS dibatasi norma, moral dan agama. Menyebut kondom saja sudah membuat kegemparan. Nafsiah Mboi, misalnya, ketika menjabat menteri kesehatan pada pemerintahan SBY dicap sebagai 'menteri cabul' oleh seorang agamawan karena Nafsiah melakukan sosialisasi kondom.

Di eta otonomi daerah (Otda) pemerintah provinsi, kabupaten dan kota mempunyai regulasi sendiri sehingga Kemenkes tidak tida intervensi. Beberapa peraturan daerah justru berlawanan dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.

Disebutkan lagi: Penolakan semacam itu (penolakan terhadap siswa pengidap AIDS di beberapa daerah-pen.) berhubungan dengan masih rendahnya pemahaman warga mengenai seluk beluk HIV/AIDS serta cara penularannya.

Di awal sudah dijelaskan informasi HIV/AIDS yang selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga masyarakat hanya menangkap mitos dari informasi yang disebarkan.

Dengan kondisi seperti sekarang al. terjadi penolakan terhadap murid pengidap HIV/AIDS, apa langkah konkret yang dijalankan KPAI? *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun