"Gay di Sumatra Barat: 'Memberantas' LGBT untuk mencegah HIV/AIDS." Ini judul berita di "BBC Indonesia" (11/1-2018). Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017 menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumbar adalah 3.306 yang terdiri atas 1.935 HIV dan 1.371 AIDS.
Ada beberapa hal yang tidak masuk akal di judul berita ini, yaitu:
Pertama, kasus penyebaran HIV yang paling potensial dilakukan oleh laki-laki biseksual (secara seksual tertarik pada lawan jenis dan sejenis) disusul laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) karena mereka mempunyai pasangan seksual yaitu istri.
Alam Pikiran
Kedua, lesbian tidak bisa dikenal secara fisik dan dalam epidemi HIV/AIDS, penulsan HIV melalui perilaku seksual di kalangan ini merupakan risiko yang sangat rendah bahkan nol persen karena tidak ada ada seks penetrasi.
Ketiga, gay tidak bisa dikenali secara fisik dan HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai perempuan sebagai pasangan tetap.
Keempat, transgender akan jadi sasaran empuk karena bisa dikenal secara fisik yaitu waria. Padahal, tidak semua waria melalukan perilaku yang berisiko tertular dan menularkan HIV/ADS.
Kelima, LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) sebagai orientasi seksual ada di alam pikiran sehingga mustahil diberantas (Baca juga: Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran).
Keenam, kasihan amat saudara-saudara kita yang terlahir sebagai transgender (waria) yang akan jadi sasaran Pemprov Sumbar dalam pemberantasan LGBT karena mereka tidak bisa menyembunyikan identitas LGBT-nya.
Ketujuh, bagaimana cara Pemprov Sumbar mengetahui identitas LGBT, khususnya lesbian, gay dan biseksual? Pakai 'intel'? Atau Dinas Kesehatan Sumbar punya alat tes LGBT?
Di lead berita disebutkan: Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, mengatakan pihaknya tengah menyiapkan upaya "memberantas" yang disebutnya "seks menyimpang" di kalangan kelompok gay guna mencegah HIV/AIDS.
Kalau yang dimaksud oleh wakil gubernur sebagai 'seks menyimpang' adalah seks anal, maka pertanyaan yang sangat mendasar untuk Wagub Sumbar, Nasrul Abit: Apakah seks oral dan seks anal yang dilakukan suami, bahkan ada dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, terhadap istri dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum tidak termasuk 'seks menyimpang'?
Seks anal yang dilakukan suami terhadap istri merupakan aktivitas yang sangat berisiko sebagai media penularan IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.) dan HIV atau kedua-duanya sekaligus karena ada suami yang jadi pelanggan waria.
Kalaupun ada risiko penularan HIV melalui seks oral dan seks anal pada gay epidemi HIV berputar di komunitas mereka. Sedangkan laki-laki heteroseksual jadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat secara horizontal, terutama kepada istri bagi laki-laki yang beristri atau perempuan pasangan lain.
Dikatakan pula: Data jumlah LGBT yang tercatat di provinsi ini "ribuan" namun belum ada angka yang valid, kata Nasrul, yang menambahkan bahwa jumlah LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) "makin hari makin banyak," dan dapat meningkatkan jumlah kasus HIV.
Laki-laki Heteroseksual
Pertambahan jumlah LGBT jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi laki-laki heteroseksual yang melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV, seperti:
(1). Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Sumbar, di luar Sumbar dan di luar negeri, dan
(2) Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Dalam prakteknya PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Intervensi terhadap laki-laki yang melakukan perilaku berisiko dengan PSK langsung tidak bisa dilakukan karena transaski seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir. Jauh lebih sulit lagi intervensi terhadap laki-laki yang melakukan perilaku berisiko dengan PSK tidak langsung karena PSK tidak langsung tidak bisa dikenali secara fisik dan transaksi seks juga terjadi melalui cara-cara yang memakai telepon, Internet dan media sosial.
Disebutkan lagi oleh Nasrul: "Tiap malam di Padang berkeliaran 100 orang, satu orang melayani tiga orang, jadi 300 yang dilayani, 150 pakai (memiliki) istri, ini sudah menularkan penyakit. Mereka tak sakit sekarang, baru 10 tahun ke depan, ini akibat perbuatan mereka saat ini."
Nasrul tidak objektif karena tidak membandingkan dengan jumlah laki-laki heteroseksual yang melakukan hubungan seksual berisiko dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Â
Wagub boleh-boleh saja menepuk dada sambil mengatakan: Di Sumbar tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada euforia menutup lokalisasi pelacuran. Tapi, secara de facto:
Apakah Wagub bisa menjamin tidak ada transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung di Sumbar?
Apakah Wagub bisa menjamin tidak laki-laki dewasa penduduk Sumbar yang melakukan perilaku seksual yang berisiko (poin 1 dan 2) dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di luar Sumbar dan di luar negeri?
Ada juga pernyataan Direktur Badan AIDS PBB, UNAIDS, untuk Indonesia, Krittayawan Boonto: Â " .... istri para pria gay." Selama ini disebutkan gay adalah laki-laki yang hanya tertarik secara seksual dengan laki-laki. Kalau beristri bukan gay, dong, tapi biseksual.
Ini juga pernyataan Krittayawan yang tidak akurat: " .... Thailand yang mencatat angka HIV baru sebesar 100.000 per tahun pada 1990-an namun berhasil ditekan di bawah 10.000 dalam waktu beberapa tahun kemudian lewat kampanye penggunaan kondom."
Bukan sekedar kampanye Krittayawan, tapi program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung di tempat-tempat pelacuran. Nah, program ini mustahil dilakukan di Indonesia karena transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir. Ini fakta, Krittayawan.
Nasrul rupanya mengabaikan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami (horizontal) dan bayi serta anak-anak yang tertular dari ibu mereka (vertikal). Apakah mereka ini tidak menderita 10 tahun kemudian, Pak Nasrul?
Ini juga dikatakan oleh Nasrul: .... "seks menyimpang" oleh kelompok gay di balik kasus HIV/AIDS ini akan terasa dampaknya pada 10 tahun mendatang.
Tidak perlu menunggu 10 tahun mendatang karena sekarang pun sudah banyak ibu-ibu rumah tangga dan bayi serta anak-anak yang terdampak langsung HIV/AIDS karena ulah suami dan ayah mereka.
Apakah di Sumbar tidak ada ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS?
Kalau tidak ada itu artinya fantastis dan perlu diacungi jempol karena satu-satunya daerah di dunia yang tidak ada ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Itu artinya tidak ada suami-suami di Sumbar yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV, maka wajarlah kalau yang dijadikan sasaran adalah LGBT, lebih khusus lagi gay.
"Kita tidak ada tindakan represif, memberi penyadaran saja bahwa jangan melakukan seks menyimpang yang bisa berakibat kesehatan mereka terganggu dan menularkan HIV/Aids." Ini pernyataan Nasrul lagi,
Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (LGBT) dan sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual.
Kalau kedua-duanya HIV-negatif maka tidak akan terjadi penularan HIV biar pun mereka melakukan hubungan yang menyimpang dan tidak pakai kondom. Bahkan, kalau pun salah satu mengidap HIV/AIDS kalau laki-laki pakai kondom maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan seks menyimpang.
Narsul menambahkan: "Kami mengajak masyarakat seluruh Sumbar agar bisa memahami bahwa perilaku seks yang menyimpang, gay bisa berakibat penyakit, ini yang akan kami lakukan yaitu sosialisasi kepada masyarakat."
Seperti dikatakan di atas bahwa risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (LGBT) dan sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual. Dalam perkawinan pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom.
Nah, ini program di hilir. Artinya, Kementerian Kesehatan membiarkan warga tertular HIV dulu (di hulu) baru diperiksan dan diberikan oleh di Puskesmas.
Maka, yang perlu dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dan Pemprov Sumbar bukan mengurusi pertambahan LGBT, tapi melakukan intervensi di hulu terhadap laki-laki dewasa agar selalu memakai kondom jika melakukan perilaku seksual berisiko yaitu poin (1) dan (2) dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Jika tidak ada intervensi di hulu untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, itu artinya penyebaran HIV di masyarakat akan terus terjadi yang merupakan 'bom waktu' untuk kelak sampai pada 'ledakan AIDS'. *