Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula*

31 Mei 2011   12:49 Diperbarui: 24 Juli 2018   04:10 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cici hanya bisa mengurut dada menghadapi perlakuan penduduk dan aparat pemerintah, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Bahkan ketika ia sampai di kampugnya petugas dari Dinas Kesehatan setempat memaksanya, dengan bantuan tenaga Muspika setempat, untuk memeriksakan darah di Puskesmas. Semula Cici menolak karena ia hanya mau diperiksa di “Citpo” (maksudnya RSCM-Red.), tapi karena ptugas yang mengambil darahnya ketika itu mengaku dari “Cipto” Cici pun bersedia diambil darahnya.

Namun, pengambilan darah itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) karena mengabaikan asas konfidensialitas. Seharusnya ada konseling prates dan yang mengetahuinya hanya dokter atau konselornya dan Cici sendiri. Tapi, yang terjadi justru orang sekampung mengetahui persoalan yang dihadapi Cici ketika digiring ke Puskesmas.

“Seharusnya ‘kan tidak boleh disebarluaskan,” kata Cici tentang kondisi kesehatannya. Memang, secara etis dan hukum catatan medis (medical record) seseorang tidak boleh disebarluaskan. Namun, perlakuan yang dialami Cici justru sangat tidak etis karena aparat pemerintah dan pihak Puskesmas setempat sudah menciptakan suatu kondisi yang memojokkan Cici. Kalau aparat dan Puskesmas lebih arif, tentulah Cici tidak akan menghadapi masalah sosial dalam pergaulannya sehari-hari karena hubungan sosial bukan merupakan media penularan HIV.

Dinikahi WN Singapura

Di Riau sendiri, seperti diakuinya, ia sudah menjalin cinta dengan seorang lelaki Cina, 50-an tahun, warga negara Singapura. Makanya, ketika ia dipulangkan, lelaki itu tetap memburunya. Pada tahun 1994-1995 Cici empat kali diboyong lelaki itu ke Singapura dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta. Saat itulah, menurut pengakuan Cici, mereka menikah. “Kami menikah di KUA (Kantor Urusan Agama-Red.) di Jakarta,” katanya sambil menyuapi putrinya yang lahir persis pada acara pembukaan Olimpiade Atlanta 1996.

Setelah diperiksa di Puskesmas ketika ia hamil delapan bulan itu rupanya dokter itu masih penasaran karena di catatan mereka, tampaknya, nama Cici tercantum sebagai “kasus”. Makanya, dokter itu pun membawa Cici ke rumahnya dan menginterogasinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter itu, seperti dikemukakan Cici, mengarah ke perilaku seksualnya. Cici sendiri mengaku jengkel menerima perlakuan-perlakuan itu karena kehamilannya itu bisa dipertanggung jawabkannya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici sambil mengelus-elus perutnya yang buncit ketika itu. Makanya, Cici amat kecewa dan marah ketika perutnya mual-mual dan ingin muntah setelah memakan obat dari Puskesmas tatkala ia hamil.

Pihak Puskesmas setempat akhirnya membawanya ke RSCM. Setelah diperiksa Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.

Setelah tujuh hari dirawat di RSCM Cici pulang bersama bayinya yang sudah dinamai oleh dokter Siti. Pihak YPI sendiri terus menangani Cici dan putrinya yang sudah positif HIV. Sayang, sampai sekarang Cici tidak melihat HIV sebagai ancaman terhadap dirinya karena, “Saya tidak pernah sakit,” katanya. Begitu pula dengan putrinya yang kini hampir berumur satu tahun dan sudah mulai bisa berjalan. Berat badannya 9,8 kg dan, “Tidak pernah sakit,” ujar Cici dengan bangga. Setiap pagi anaknya menghabiskan semangkok bubur nasi dengan hati ayam.

Pergelutan

Kondisi ini lagi-lagi terbentuk karena format penulisan berita yang sering tidak komprehensif. Bagi banyak orang, sakit berarti ada keluhan, sedangkan HIV bahkan AIDS sebelum tahap full-blown (sudah menampakkan gejala-gejala khas penurunan kekebalan tubuh) hampir tidak menunjukkan gejala penyakit. AIDS sendiri bukanlah penyakit, tapi merupakan istilah yang disepakati untuk menyebutkan kondisi penurunan kekebalan tubuh karena diserang HIV, sehingga yang mematikan penderita AIDS adalah infeksi-infeksi oportunistik, terutama diare dan TBC.

Berkat uang yang diberikan suaminya yang datang setiap lima bulan menemui Cici dan putrinya, wanita itu pun bisa membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah permanen di dekat rumah ibunya. Sedangkan rumahnya yang semula dibangunnya yang didiami kakek dan neneknya, juga di desa yang sama, sudah dijualnya. “Ya, dari uang yang saya kumpul-kumpullah,” katanya dengan logat Riau tentang biaya pembangunan rumah barunya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun