Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyibak Peran Perda AIDS Riau dalam Penanggulangan AIDS Riau

30 Maret 2011   09:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:17 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13014778511941358405

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau No 4 Tahun 2006 tentang Pecegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS sudah berumur lima tahun. Apa yang dihasilkan perda ini terhadap penanggulangan HIV/AIDS di Riau?

Sampai 31 Desember 2010 Kemenkes melaporlan jumlah kasus AIDS di Prov Riau mencapai 477, dari jumlah itu 135 terdeteksi di kalangan pengguna narkoba suntik, dan 132 kematian. Kasus ini menempatkan Prov Riau pada peringkat kesebelas secara nasional. Peningkatan kasus ini terjadi al. karena terus terjadi penularan (baru) dan kasus lama tedeteksi melalui survailans tes HIV, tes sukarela dengan konseling, atau diagnosis di rumah sakit.

Kasus-kasus lama yang baru terdeteksi tidak terkait dengan Perda, tapi kasus infeksi baru menunjukkan ’kemandulan’ Perda dalam menanggulangi penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Lima ibu rumah tangga terdeteksi HIV-positif di Kota Dumai (www.republika.co.id, 29/3-2011). Ini menunjukkan penyebaran HIV terjadi secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa penularan HIV terus terjadi? Ya, hal itu terjadi karena pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang konkret. Ini pulalah yang tidak ada dalam Perda AIDS Riau. Termasuk juga tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga.

Fakta Medis

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV? Ya, karena selama ini materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Yaitu mengaitkan penularan HIV melalui hubungan seksual (sanggama) dengan zina, pelacuran, seks pranikah, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, ’seks bebas’, dan homoseksual. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV melalui hubungan seksual dengan zina, pelacuran, seks pranikah, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, ’seks bebas’, dan homoseksual.

Penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam ikatan pernikahan yang sah atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Fakta inilah yang sering luput sehingga masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan yang akurat.

Maka, mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara tidak melakukan sanggama dengan orang yang sudah tertular HIV (HIV-positif). Persoalannya kemudian adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Dalam kondisi ini pencegahan dapat dilakukan dengan melindungi penis atau vagina agar tidak terjadi pergesekan langsung pada saat terjadi hubungan seksual.

Pada pasal 4 ayat a dalam Perda disebutkan ”HIV/AIDS dapat menular dari seseorang yang terinfeksi kepada orang lain melalui hubungan seksual berisiko yang tak terlindungi.” Pada pasal 1 ayat 11 disebutkan ”Perilaku Seksual Berisiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.” Penularan HIV pada Perda ini tidak akurat lagi karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah tanpa harus berganti-ganti pasangan jika laki-laki tidak memakai kondom.

Karena HIV/AIDS adalah fakta medis maka pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis. Tapi, dalam Perda ini justru mitos yang dikedepankan sebagai cara-cara pencegahan.

Pada pasal 5 ayat a disebutkan pencegahan HIV/AIDS dilakukan dengan cara ”Meningkatkan Iman dan Taqwa”. Tidak ada kaitan langsung antara iman dan taqwa dengan penularan HIV karena HIV bisa menular dalam ikatan pernikahan yang sah, melalui transfusi darah, cangkok organ tubuh, jarum suntik dan alat-alat kesehatan, serta air susu ibu (ASI) pada proses menyusui. Lagi pula, bagaimana menakar iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Pasal ini menyuburkan stigmatisasi (pemberitan cap buruk) kepada orang-orang yang tetular HIV (Odha) karena mereka dianggap tidak beriman dan tidak bertaqwa sehingga tertular HIV.

Sedangkan di pasal 5 ayat b disebutkan pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan melalui cara ”Tidak melakukan hubungan seksual di luar perkawinan yang sah.” Ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hubungan seksual di luar nikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Sebaliknya, kalau satu pasangan yang melakukan hubungan seksual dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan di luar nikah dan laki-laki tidak memakai kondom.

Perilaku Penduduk

Cara pencegahan lain yang disebutkan dalam Perda ini tertera pada pasal 5 ayat c yaitu ”Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas.” Pada penjelasan seks bebas disebutkan sebagai hubungan seksual yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang berganti-ganti pasangan, dan tidak terikat perkawinan yang sah serta hubungan seksual sejenis. ’Setia pada pasangan tetap’ tidakpas karena bisa saja terjadi salah satu atau kedua pasangan dari ’pasangan tetap’ itu sudah pernah pula sekali atau beberapa kali mempunyai pasangan tetap sebelumnya. Misalnya, dalam kasus kawin-cerai.

Lagi pula biar pun setia pada pasangan tetap di dalam nikah kalau salah satu dari mereka atau kedua-dunya HIV-positif maka ada risiko penularan HIV. Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual pada pasangan yang berganti-ganti terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-dua pasangan HIV-positif dan laki-laki tidak selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual) bukan karena sifat hubungan seksual (bukan dengan pasangan tetap di luar nikah). Sedangkan risiko penularan HIV pada hubungan seksual sejenis (homoseksual) bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan pasangan itu tidak memakai kondom saat melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual) bukan karena hubungan seksual sejenis (sifat hubungan seksual).

Pasal 5 ayat e disebutkan pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan melalui cara ”Transfusi darah yang bebas dari HIV/AIDS.” Persoalannya adalah: Apakah Unit Transfusi Darah (UTD) yang dikelola Palang Merah Indonesia (PMI) bisa menjami darah yang ditransfusikan bebas HIV/AIDS? Soalnya, kalau seseorang mendonorkan darah pada masa jendela (seseorang yang tertular HIV di bawah tiga bulan) maka skirining HIV terhadap darah yang didonorkan tidak bisa mendeteksi antibodi HIV. Akibatnya, hasil skirining bisa HIV-negatif palsu artinya darah tersebut sebenarnya sudah terkontaminasi HIV tapi tidak terdeteksi (Lihat Gambar).

Masa Jendela pada Epidemi HIV

Pengalaman Malaysia menghadap tuntutan seorang perempuan yang tertularHIV melalui transfusi darah di sebuah rumah sakit membuat negeri jiran itu menerapkan sistem yang bertumpu pada standar ISO (International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories).

Kalau saja PMI menerapkan fakta medis terhadap HIV/AIDS maka kepada setiap donor diajukan pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan? Jika jawabannya di bawah tiga bulan maka skirining HIV terhadap darah yang didonorkannya tidak akan akurat.

Masalah besar yang dihadapi pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah terular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong percepatan dan pertambahan kasus HIV/AIDS di Riau. Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV.

Soalnya, ada saja penduduk lokal yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks di lokalisasi atau di luar lokalisasi baik di Riau maupun di luar Riau.

Upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk adalah dengan meningkatkan pennyuluhan dengan materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang akurat dengan mengedepankan fakta medis.

Melalui penyuluhan yang intensif diharapkan orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV secara sukarela. Makin banyak kasus terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun