Mohon tunggu...
Indriati See
Indriati See Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

WNI bermukim di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengalaman Menjadi Pelajar Tamu di Sekolah Indonesia

22 Januari 2012   05:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:35 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_157732" align="aligncenter" width="420" caption="Hari Batik yang mengesankan bagi si sulung"][/caption]

Mengirim anak-anak belajar Bahasa Indonesia sudah ada dalam program pendidikan kami, mengapa ? karena Bahasa Indonesia adalah Bahasa Ibu dari anak-anak dan tentunya sebagai anak-anak yang terlahir campur atau yang sering disebut anak Indo, otomatis mereka diwariskan dua bahasa dan kultur yang berbeda. Dan kedua bahasa dan kultur yang berbeda ini harus berkembang sama dengan memeliharanya atau dengan harapan yang lebih, mewariskannya kembali kepada cucu dan cicit kami.

Sering suami dan saya berjumpa dengan anak-anak Indo-Jerman yang tidak bisa berbahasa Indonesia, dengan alasan: 1)    Ibu atau ayah (WNI) tidak menganggap Bahasa Indonesia itu penting untuk diwariskan karena toh tidak dipakai di negara dimana mereka tinggal. 2)    Ibu atau ayah (WNI) tidak mempunyai kesabaran, konsekwen dan berkelangsungan untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan anak-anak. 3)    Ibu atau ayah (WNI) tidak merasa bangga lagi untuk berbahasa Indonesia kepada anak-anak mereka. Pada usia tiga tahun pertama, suami dan saya hanya berbahasa Indonesia kepada putra sulung kami, sedangkan suami dan saya berkomunikasi dalam bahasa Perancis sampai kini. Tiga bahasa aktif (Indonesia, Jerman dan Perancis) yang didengar oleh putra sulung kami rupanya menghambat perkembangan bicaranya. Sampai usia dua tahun, putra sulung tidak bisa mengucapkan kata “mama” atau “papa” dan memanggil kami dengan kata “dede”, kata “lili” untuk “gereja”, kata “degedi” untuk “ini” dan “itu” … jadi anak kami menciptakan bahasa sendiri. Saat itu kami tidak menganggapnya “aneh” dan dengan sabar mengulang setiap kata yang dimaksud oleh anak kami dengan kata dalam bahasa Indonesia yang benar. Pada saat putra kami masuk TK di usia tiga tahun, dibawalah Bahasa Indonesianya ke TK … hitung-hitung promosi Bahasa Indonesia bukan ?

Di TK Jerman biasanya dalam kelompok bermain dan belajar, anak-anak yang berusia lebih tua akan membimbing yang muda. Saat itu putra sulung kami dibimbing oleh seorang anak yang sangat baik bernama Michael. Dari Michael putra kami belajar nama-nama binatang dalam Bahasa Jerman dan Michael belajar hal yang sama dalam Bahasa Indonesia … luar biasa ! dimana putra kami sudah menjadi Duta Kecil Indonesia. Jadi kesimpulannya, putra sulung kami mulai belajar Bahasa Jerman di usia tiga tahun dan sampai sekarang tidak ada hambatan sama sekali di sekolahnya. [caption id="attachment_157735" align="aligncenter" width="420" caption="Menggunakan jam istirahat tuk bermain catur"]

1327209441266001756
1327209441266001756
[/caption]

Ketika putra kami sudah bisa membaca, saya membeli banyak komik anak-anak dalam Bahasa Indonesia, mengapa komik ? karena saat itu saya berpikir biasanya anak-anak lebih suka melihat buku bergambar dengan kalimat yang pendek-pendek, disamping menarik juga tidak melelahkan atau membosankan dan tentunya juga kami tetap konsekwen berbahasa Indonesia yang benar. Dukungan dari keluarga saya di Jakarta juga sangat membantu dengan tidak berbicara Bahasa Jakarta setiap kami berlibur di Tanah Air.

Ada peraturan di sekolah-sekolah Jerman dimana anak-anak di bawah kelas 9, boleh meninggalkan sekolah untuk pergi belajar ke luar negeri maximum satu tahun guna mempelajari bahasa asing atau mengikuti program pertukaran pelajar. Kesempatan ini kami pergunakan juga terutama untuk putra sulung yang saat itu di kelas 8 dan putri bungsu di kelas 4 (SD di Jerman hanya sampai kelas 4). Mereka sangat berantusias untuk mempelajari Bahasa Indonesia di sekolah Indonesia di Jakarta.

Pengurusanpun dimulai, suami mengurus perizinan di Jerman dan saya dengan bantuan ayah menghubungi SD dan ex-SMP saya di Jakarta. Ide kami saat itu disambut baik oleh Kepala Sekolah di Jerman begitu juga dengan Kepala Sekolah SD dan SMP di Jakarta bahkan mereka bilang bahwa “belum pernah ada WNI yang mengirim anak campur belajar Bahasa Indonesia” ... betulkah ?.

Waktu yang ditawarkan untuk belajar Bahasa Indonesia tersebut hanya dua bulan yaitu di semester kedua tahun ajaran sekolah, untuk Jerman saat itu menjelang liburan musim panas dimana sekalian kami pergunakan untuk berliburan musim panas di Indonesia sekeluarga. Dan untuk sekolah SD dan SMP di Jakarta adalah masa-masa dimana para pelajar mempersiapkan ulangan umum dan pelajaran diberikan di kelas berupa pengulangan-pengulangan saja. Kesempatan ini sangat menguntungkan putra dan putri kami dimana para guru mereka di Jakarta mempunyai banyak waktu untuk memberi perhatian kepada mereka.

Setelah prosedur yang harus dilalui selesai, saya dan kedua putra dan putripun terbang ke Jakarta. Pada hari Kamis kami tiba, waktu yang cukup untuk penyesuaian perbedaan waktu dan juga laporan dan pengurusan seragam agar kedua anak saya bisa langsung masuk sekolah pada hari Seninnya.

Rasa percaya diri dan mandiri yang kami tanamkan kepada anak-anakpun terbukti, tanpa sungkan kedua anak tersebut memperkenalkan diri mereka masing-masing di depan kelas dengan menggunakan Bahasa Indonesia à la orang bule hehe ...

[caption id="attachment_157737" align="aligncenter" width="421" caption="Kenangan yang terindah bagi si bungsu"]

13272099741293280695
13272099741293280695
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun