Mohon tunggu...
Indri Ronaldi
Indri Ronaldi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Basa-basi, (Kue) yang Tidak Pernah Basi?

25 April 2015   08:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14299377592120295279

[caption id="attachment_412568" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi/kompasiana(malesbanget.com)"][/caption]

Salah satu perilaku masyarakat (attitude/manner) dalam bersosialisasi yang dibutuhkan adalah basa-basi. Misalkan saja pada saat kita baru bertemu dengan teman atau saudara kita yang berpapasan di jalan ataupun mal, umumnya kita akan menyapa mereka dengan ucapan "hei...apa kabar kamu?" Padahal sebenarnya kita sudah tahu kalau mereka sudah terlihat dalam keadaan baik-baik saja.

Pengalaman saya, di tempat saya bekerja, sering kali pada setiap kunjungan ke lembaga lain dan bertatap muka dengan salah satu pimpinannya, selalu saya disodorkan menjadi pembuka pembicaraan, nah ketika itulah diperlukan tuh jurus basa-basinya….weleh weleh kadang suka kepikiran juga, kenapa sih mereka nggak langsung ngomong aja, pake nyuruh-nyuruh saya segala...hehe.

Tapi ya sudahlah, namanya diberi tanggung-jawab sebagai prajurit, memang harus siap ya bos. Secara kultural setempat, suka tidak suka kita harus mengenal adanya basa-basi, bisa jadi kita dianggap tidak sopan, jika tanpanya kita langsung ke pokok persoalan, dianggap bersikap tak acuh tanpa sapaan.

Masih teringat dalam ingatan saya,  slogan salah satu produk yang ditayangkan di beberapa media massa yang memberi kesan atau konotasi yang kurang positif terhadap basa-basi, dan sepertinya kita harus menghindari basa-basi ini, padahal hidup ini menjadi indah karena adanya basa-basi...orang mau ngerayu aja pakai basa-basi...cieee...cieee

Dalam kamus bahasa Indonesia pengertian basa – basi sebenarnya adalah sopan santun atau tatakrama dalam berinteraksi antar manusia. Bentuknya bisa berupa salam, menanyakan kabar, menyampaikan ungkapan simpati dan penghargaan (terimakasih).

Namun dalam perkembangan prakteknya, tampaknya telah mengalami friksi makna, sehingga konotasi yang terbangun kemudian, basa-basi hanya bermakna negatif dan kurang bermanfaat. Ironis memang, karena dengan demikian secara tidak disadari menunjukkan suatu pola sifat dan sikap yang telah menjadi kelaziman pada masyarakat, bahwa setiap berhadapan dengan yang namanya basa-basi, dianggap bukanlah suatu hal yang tulus atau sungguh-sungguh. Bahkan sebuah sapaan kadang hanya diartikan sebatas ‘setor muka’ atau “ucapan sia-sia” belaka.

Ada seorang teman saya sebut saja si upin..hehe’ yang sering banget berseteru dengan sesama rekan kerjanya namanya ipin. Mereka sering banget ribut hanya gara-gara hal yang sepele, padahal mereka satu tim lho. Nah secara kebetulan pula mereka berdua sering banget curhat ke saya. Lalu saya berfikir...wah..gimana nih menyikapi perang terbuka diantara mereka.

Beruntung saya sudah berpengalaman menghadapi orang-orang stres seperti itu di lingkungan saya ....lebay dikit..., dan dari beberapa buku-buku atau artikel psikologi yang pernah saya baca, ternyata ada manfaatnya juga. Disitulah saya coba memberi saran kepada kedua teman saya tadi dengan mempelajari karakter keduanya.

Tapi apa jawaban mereka: “Aduh sorry bro, saya nggak bisa berkata/bersikap seperti itu (seperti yang saya sarankan), itu mah BASA-BASI!!”

Wah gimana ini, mereka nggak mau mengenal basa-basi, padahal basa-basi yang saya maksud untuk dapat mencairkan kekakuan atau ketegangan suasana psikologis perang dingin antar mereka.

Padahal jika basa - basi yang disampaikan pada tempatnya dan dalam takaran yang pas dan wajar (kayak kue gitu)... akan dapat menjajagi suasana dan tidak lanjut komunikasi yang akan dibangun oleh teman saya ini. Tapi harus dibedakan ya antara basa-basi dengan bunga-bunga kata. Kalau basa-basi itu cara penyampaiannya, sedangkan bunga-bunga kata kemasan pesannya seperti seorang remaja yang sedang merayu pujaan hatinya…yuhuui.

Nah, balik ke upin dan ipin teman saya ini, secara terpisah saya coba menganalogikan bagaimana umat beragama di bumi ini ketika sedang berdoa dan berdialog dengan Tuhannya. Bukankah awalnya dimulai dengan puji-pujian, bukankah itu “basa-basi” (dalam tanda kutip)? Di situlah teman-teman saya ini mulai terhenyak. Karena sesungguhnya basa-basi dalam ajaran agama tidaklah berarti kosong semata atau sekedar pelengkap.

Basa-basi harus dikenal dalam konotasi positif karena merupakan implementasi dari kesungguhan hati dan kesamaan antara yang diucapkan dengan yang terbesit dalam hati, bukannya nifak (hipokrit). Dalam hubungan antar manusia, ketika masing-masing ego harus mendahulukan sisi altruistiknya, antara lain juga diajarkan tentang bagaimana kita seharusnya bermuka manis (berdasarkan keikhlasan hati), menghargai (pemberian/pekerjaan bahkan pun sekadar maksud baik) orang lain. Sehingga lingua altruistik yang dikemas secara artistik akan menjadi indah lebih dari sekedar bunga-bunga kehidupan.

Nah, sehubungan dengan pencanangan revolusi mental oleh Bapak Presiden Joko Widodo, BASA-BASI ITU PERLU KAN?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun