Delapan puluh tahun merdeka, tetapi aspal di jalan-jalan kita masih milik bangsa lain. Ironi ini begitu tajam: negeri yang duduk di atas tambang aspal terbesar dunia justru menambal jalannya dengan impor. Setiap kilometer jalan adalah bukti bahwa kedaulatan ekonomi kita masih pinjaman. Maka, pertanyaannya menggema di antara batu dan debu: apakah Buton benar-benar Indonesia?
Pulau kecil di timur itu telah memberi lebih banyak daripada yang ia terima. Dari tanahnya, Allah titipkan aspal alam berkualitas tinggi, tetapi dari Jakarta, yang datang hanya janji dan studi banding tanpa akhir. Buton bukan tidak mampu, hanya tidak diberi ruang untuk membuktikan diri. Negeri ini seolah lebih percaya pada kapal tanker asing ketimbang tambang sendiri.
Ketika dunia mengakui Buton sebagai salah satu penghasil aspal terbesar, Indonesia justru sibuk membuka pintu impor. Kebijakan demi kebijakan melindungi produk luar negeri, sementara aspal Buton menunggu nasib di gudang yang berdebu. Para birokrat berbicara tentang "kualitas", padahal yang mereka jaga hanyalah rente dan komisi. Seakan nasionalisme kini ditakar dalam dolar, bukan keberanian membangun dari dalam.
Setiap proyek jalan yang digelar dengan aspal impor adalah monumen pengkhianatan terhadap potensi bangsa. Dana triliunan rupiah tiap tahun mengalir deras keluar negeri, sementara masyarakat Buton hidup dalam keterpinggiran. Mereka menyaksikan kapal-kapal asing berlabuh untuk memasok aspal, tetapi pelabuhan di negerinya sendiri tetap sepi. Inilah wajah paradoks Indonesia yang sesungguhnya: kaya sumber daya, tetapi miskin kedaulatan.
Buton seharusnya menjadi simbol kebangkitan industri aspal nasional, bukan korban pembiaran kebijakan pusat. Di atas tanahnya, berdiri tambang alam yang bisa membuat Indonesia swasembada aspal selamanya. Namun pemerintah seolah buta terhadap potensi itu, seolah Buton bukan bagian dari republik. Padahal dari Butonlah jalan menuju kedaulatan infrastruktur bisa dimulai.
Pertanyaannya sederhana tetapi menampar: mengapa kita masih impor aspal setelah delapan dekade merdeka? Apakah karena Buton terlalu jauh dari istana? Atau karena suara rakyatnya terlalu lirih untuk didengar di meja kekuasaan? Jika jawabannya adalah kepentingan ekonomi segelintir orang, maka negeri ini sedang melangkah di atas jalan pengkhianatan.
Bayangkan jika semua jalan di Indonesia dilapisi aspal Buton. Tidak ada lagi ketergantungan impor, tidak ada lagi uang rakyat yang terbang ke luar negeri. Ribuan tenaga kerja lokal terserap, dan pabrik-pabrik pengolahan aspal tumbuh di jantung timur Nusantara. Tetapi semua itu hanya bisa terjadi jika pemerintah berani berkata: cukup sudah menjadi bangsa penyewa di rumah sendiri.
Selama ini, Buton tidak meminta belas kasihan, ia hanya meminta kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan bahwa anak bangsa mampu berdiri sejajar dengan industri global. Namun kesempatan itu dirampas oleh kebijakan yang lebih memanjakan pedagang impor daripada penambang lokal. Inilah luka yang terus berdarah di tubuh republik.
Di setiap seminar dan rapat, pejabat berbicara tentang "Indonesia Emas 2045". Tetapi bagaimana mungkin emas itu bersinar jika fondasi jalannya dibangun dari aspal asing? Apakah kemerdekaan infrastruktur hanya mitos yang dijual setiap kampanye? Buton bisa menjadi emas sejati, tetapi emas itu dikubur oleh kebijakan sendiri.
Tidak ada negara besar yang membiarkan sumber dayanya diabaikan seperti Indonesia memperlakukan Buton. Amerika melindungi industrinya, Tiongkok melindungi produksinya, tetapi Indonesia justru melindungi impor. Buton seakan dijadikan anak tiri dalam rumah bernama republik. Padahal di dadanya tersimpan kunci kemandirian yang kita cari-cari selama ini.