Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Pemerhati Aspal Buton.

Pemerhati Aspal Buton.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Impor Aspal atau Impor Akal Sehat: Sudahkah Kita Bercermin ?

24 September 2025   17:00 Diperbarui: 24 September 2025   16:51 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akal Sehat. Sumber: istockphoto.com

Sudah lebih dari setengah abad Indonesia mengimpor aspal, seolah bumi sendiri tandus. Padahal di Pulau Buton, cadangan aspal alam terbentang bak samudra hitam. Angka resmi mencatat lebih dari 660 juta ton menunggu digali. Akal sehat mana yang bisa menerima paradoks ini?

Tahun 2022, Presiden Jokowi berdiri di tanah Buton dengan rasa heran. "Apa-apaan ini, mengapa Indonesia impor aspal?" tanyanya. Sebuah pertanyaan sederhana namun memukul logika kebijakan puluhan tahun. Saat itu, akal sehat presiden terasa segar seperti angin laut.

Pak Jokowi bahkan menegaskan target stop impor aspal 2024. Itu sinyal bahwa akal sehat masih punya ruang di meja kekuasaan. Tetapi kini tahun berganti, janji itu menguap di udara panas politik. Siapa yang menyalakan lampu hijau untuk pembatalan janji itu?

Pak Prabowo kini duduk di kursi presiden dengan mandat besar. Namun kebijakan menghentikan impor aspal tak kunjung berlanjut. Jika akal sehat Pak Jokowi benar, mengapa penerusnya ragu? Pertanyaan ini menggantung di benak rakyat yang menunggu logika sederhana: gunakan sumber daya sendiri.

Akal sehat menuntut bukti, bukan sekadar retorika. Fakta: cadangan Buton setara ratusan tahun kebutuhan nasional. Fakta: teknologi ekstraksi dan standar kualitasnya sudah teruji. Fakta: impor aspal menguras devisa miliaran dolar setiap tahun.

Jika semua fakta begitu terang benderang, apa alasan menutup mata? Apakah hitungan politik lebih mahal daripada hitungan logika? Atau ada kepentingan lain yang menenggelamkan suara nurani? Rakyat hanya bisa bertanya, karena jawaban kerap dibungkus rapat.

Menjaga kedaulatan energi dan bahan baku adalah inti kemerdekaan. Aspal adalah urat nadi infrastruktur, bukan sekadar bahan penambal jalan. Ketergantungan impor berarti menyerahkan nadi itu ke tangan asing. Akal sehat bangsa mestinya menolak ketergantungan seperti ini.

Para penambang Buton bekerja siang malam, peluh mereka jadi saksi. Mereka percaya pemerintah akan membuka jalan bagi hasil bumi sendiri. Tetapi kebijakan lebih memanjakan kapal-kapal pengangkut aspal luar negeri. Akal sehat pekerja lapangan terasa dipermainkan.

Setiap rupiah yang dibayar untuk aspal impor adalah rupiah yang tidak kembali ke rakyat. Devisa melayang, lapangan kerja lokal tertutup. Ini bukan teori konspirasi, melainkan perhitungan kas negara yang gamblang. Akal sehat sederhana pun mampu menghitung kerugiannya.

Jika kualitas aspal Buton diragukan, uji laboratorium telah membantah. Standar internasional sudah terpenuhi, proyek uji coba sukses. Bahkan banyak negara lain melirik Buton untuk pasokan. Akal sehat teknis tidak menemukan celah alasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun