Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Rumah Seribu Pintu

30 Mei 2020   01:03 Diperbarui: 30 Mei 2020   21:03 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah seribu pintu | Photo by Mark Boss on Unsplash (unsplash.com/@vork)

Seprai merah pada peraduan itu menjadi kusut oleh kisah-kisah sang Kelana. Mata berbinar Putri menerangi setiap kisah yang paling kelam sekalipun. Baju keduanyapun kusut, tetapi tetap terkancing erat. Kelana berkisah, Putri kadang mendesah memaknai kisah-kisah itu.

"Putri, sudah malam. Bunda memberikan jam malam kepadaku," ujar Kelana.
"Ya, aku tahu, dari siluetmu di tepi sungai itu. Kamu harus pergi, kan?"

Kelana tak menjawab. Ia hanya beranjak. Berkemas. Mengenakan lagi jubah hitamnya. Setiap jam malam tiba, Kelana selalu saja mendatangi pantai, menerjangi ombak, menatapi kelam dan kerlip bintang, membayangkan ibunya menadahkan tangan ke angkasa di seberang samudera sana, membangunkan ribuan malaekat yang terbang mengelilingi anak-anaknya.

Kelana membuka lagi satu pintu. Putri meraih pinggang lelaki itu, melingkari dengan kedua tangannya, menyandarkan dukanya pada punggung Kelana.

"Datanglah, kembalilah, besok. Kau tahu, ini rumahmu," bisiknya. Satu kecupan menyentuh punggung tangan lelaki itu.
***
KELANA pergi, bersama rajawali. Ia telusuri jejak-jejak malam. Ia endus setiap tapak seekor kuda tanpa pelana. Ia datangi setiap sabana dan perigi. Ia masuki lorong-lorong tanpa cahaya. Ia renangi kanal-kanal dalam. Ia takut, kudanya tersapu halimun, terbawa arus. Maka, pada pintu-pintu air penuh sampah, ia punguti dan selami. Tapi, tidak ada tanda-tanda kudanya ada.

Kelana menangis. Ia jarang menangis, kecuali untuk Bundanya.

"Bunda, tanpa kuda, aku bisa apa? Ibu yang memberikan kuda itu, sejak aku baru belajar merangkak. Ibu yang memerintahkannya menemaniku, sepanjang jalan. Dimana ada aku, disana kuda itu hadir. Ibu, kemana kucari kuda itu?"

Ia takut pada bundanya, cahayanya, pelanginya. Ibu bisa mendatangkan petir kapan saja, mengutuknya, menjadi batu. Ia tak ingin dianggap durhaka, kalau sampai menghilangkan kuda itu. Ia tak mampu melihat selarik kabut hinggap di mata ibunya yang buta itu. 

Kalau ibunya sampai menangis, ia akan hancurkan setiap karang yang menghadang. Ia akan hanguskan seluruh butir air, hingga airmata ibunya tidak pernah lagi mengalir.

"Bunda tidak boleh menangis. Biar kukeringkan samudera untuk ibu!" teriaknya, berkali-kali.

Rajawali terbang tinggi menggapai bintang, ketika tahu Kelana itu mendamba bundanya. Mata rajawali setajam silet mengawasi setiap bahaya yang mengancam tuannya. Kelana tertidur, pada sebuah batu. Ia begitu lelah.
***
Satu kecupan hangat di kening dan bibir membangunkan lelaki itu.
"Sudah pagi, Kelana. Kamu belum sarapan.."
"Darimana Putri tahu, aku tidur disini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun