Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Rumah Seribu Pintu

30 Mei 2020   01:03 Diperbarui: 30 Mei 2020   21:03 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah seribu pintu | Photo by Mark Boss on Unsplash (unsplash.com/@vork)

Rajawali yang ia tunjuk mengibaskan kedua sayap dekat perapian. Seakan setuju. "Tuan butuh teh lagi, kan?"

Tanpa menunggu, sang putri mengambil cangkir teh, bertepatan dengan lelaki itu. Kelana merasa malu. Ia tak ingin dilayani dengan cara teramat terhormat itu.

Aliran listrik terpancar, ketika kedua tangan itu saling menyentuh. Lelaki itu tersengat. Ada nyala api memancar membakar kekelaman. Sang putri tidak menunjukkan reaksi. Meski, lama ia tak pernah disentuh oleh lelaki.

Mereka bertatapan. Senyum simpul tertukar. Hawa hangat saling tindih. Kehampaan hilang. Ada ruang yang terisi.

"Mari kita cari kudamu.."

Putri itu tidak lagi memanggilnya tuan. Ia senang. Itu nada perintah yang sangat halus.

Kelana berdiri. Ia buka satu pintu. Rajawali langsung mendahului. Kelana terpana, ketika pintu yang dibuka tidak menyingkap semak belukar, batu karang, lereng terjal dan debur ombak. Yang tampak adalah jalanan ramai sebuah kota. Sungguh, Kelana itu takut pada kota. Ia terlalu lama hidup dengan kesunyian, desir angin, gemericik air dan desau ombak.

"Kelana, tunggu..."
Putri meraih pundak lelaki itu. Kelana menurunkan tangan itu, lalu menggenggamnya.

Hampir saja sang Putri terjatuh, ketika sebutir kerikil terinjak kakinya. Kelana yang siap meraih pinggang sang putri menjadi serba salah, ketika putri bangkit dan berjalan teratur menuju jalanan.

Tak mereka sadari, cincin yang melingkari jari manis Putri menggelinding, masuk ke selokan, ketika hampir terjatuh itu. Keduanya hanya mendengar nyaring suara hati masing-masing.

Kelana melangkah seperti terseret. Mukanya tersipu. Matanya nanar melihat sekeliling. Ia sadar, lelaki dusun seperti dirinya terlalu mudah dikenali di kota yang penuh rasa ingin tahu ini.
***
MEREKA menghentikan sebuah bendi. Ada kusir dan kuda, tetapi bukan kudanya. Berdua mereka duduk di bangku belakang. Rajawali bertengger pada terpal kusam di atas kepala keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun