RUMAH itu berpintu seribu, tertutup rapat oleh semak-semak. Berbenteng batu-batu karang dan balok-balok kayu. Tidak ada yang tahu, pada pintu mana orang-orang bisa masuk ke dalamnya. Semakin keras ia diketuk, semakin hening suara didalam.
Tapi, masing-masing pintu akan membuka sendiri, kalau rumah itu ingin ada orang yang masuk. Namun, juga tidak ada yang bisa menebak, pada musim apa pintu-pintu itu membuka sendiri. Pernah ada yang menanti setiap musim kura-kura betina bergegas mencari liang di pekarangan yang penuh pasir itu, lalu menimbun telor-telornya. Tetap saja pintu-pintu itu tak bersuara.
Konon, ada seorang putri di dalam rumah itu. Putri yang dibuang. Bukan oleh silsilah dan tali darah, tetapi oleh sikapnya sendiri.
Bagi yang pernah tahu, putri itu sembunyi berpedoman mimpi. Putri yang percaya pada rasi bintang, meteor jatuh dan ekor komet di malam-malam buta.
***
SIANG itu guntur dan halilintar membelah langit. Padahal masih di bulan April. Pohon-pohon tumbang. Halimun bergerak, menyambar dan mencabut apa saja yang dilalui. Sudah lama halimun itu tidak datang.
Kalau ia hadir, satu pertemuan sedang disiapkan, tanpa perjamuan.
Binatang-binatang terliar dan terbinal pun takut pada halimun itu. Mereka bersembunyi pada liang-liang. Yang tergelap. Yang terdalam. Menyuruk bersama pasangan masing-masing.
Pada horison yang jauh, seorang kelana berjalan sendirian. Ia sedang mencari kudanya, berteman seekor rajawali. Mendung bergayut. Awan menggigil. Langit beku.
"Tuan, masuklah. Selamilah. Datanglah."
Sang kelana mendengar panggilan yang berbisik. Tidak ada siapa-siapa. Ia menatap pada rumah itu, ketika satu pintu terbuka. Wangi kesturi menyeruak, menghapus segala lelah.