Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Papua dalam Sangkar Pasifik

5 September 2019   05:58 Diperbarui: 6 September 2019   05:11 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapitalisme tanpa kolonialisme bagi Ratulangie adalah jawaban. Bukan komunisme, apalagi chauvinisme. Dalam ceruk sebagai sama-sama kekuatan kapitalis, pun sama-sama nasionalis dan pribumi, negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasific akan benar-benar mampu menyangga diri sendiri, bahkan menjadi kekuatan utama dunia.

Pelan-pelan, namun sangat pasti, ikatan dan ketergantungan terhadap Eropa (plus Sovyet) dan Amerika bakal putus. Ratulangie membacanya dari neraca dan statistik perdagangan waktu itu.

***

Ketika Papua kini berkecamuk, bersamaan dengan terbukanya kartu As Indonesia tentang perpindahan ibukota ke Kalimantan Timur, buku Ratulangie seperti tersobek-sobek tipis-tipis dan beterbangan menjadi debu.

Ketika razia buku tentang bahaya komunisme sedang dilakukan, sejumlah pihak yang mungkin masih bermimpi tentang abad-abad kejayaan Istambul di belahan Utara, ikut berpropaganda. Naskah-naskah hebat karya kakek-nenek, bapak-ibu, dari perintis dan pendiri bangsa Indonesia, ditenggelamkan ke lautan sejarah.

Padahal, pengetahuan dan kesadaran internasionallah yang menjadi modal paling kuat dari sosok-sosok pendiri bangsa itu. Baca saja teks-teks yang mereka tulis, baik dalam bentuk pledoi, surat menyurat, ataupun polemik di koran-koran. Mau mereka berada di sebelah kanan, tengah, atau kiri, selalu saja memiliki pengetahuan dan analisa yang hampir tepat tentang kondisi dunia pada zamannya. Pengetahuan yang bukan khas pendiri bangsa Indonesia saja, melainkan juga dimiliki oleh tokoh-tokoh nasional bangsa-bangsa yang kini sudah merdeka di Asia Pasifik.

Bahwa ada pihak yang bermain untuk isu Papua, sudah pasti. Yakni, kelompok kapitalis lama yang sudah mereguk keuntungan dari sejak pra kolonial, kolonial, hingga Indonesia merdeka. Kelompok yang pernah mengendalikan jejaring perdagangan korporatisme swasta yang berbuah kolonialisme, seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (Belanda), East India Company (Inggris), Compagnie des Indes (Perancis) dan Portugis East India Company (Portugis).

Walau buku sejarah resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah bangsa-bangsa itu tak berisi tentang abad-abad kolonialisme nenek moyang mereka lagi, tetapi seluruh kepentingan ekonomi-politik anak-cucu mereka masih tetap menjadi garda depan diplomasi mereka. Inti dari seluruh peperangan yang sesungguhnya.

Untuk ukuran 80 tahun lalu, China adalah negara yang paling menderita akibat perang melawan Jepang dan Inggris, dibandingkan dengan negara-negara lain dalam konteks Pan Aziatisme. Lewat sejumlah revolusi nasionalnya setelah buku Ratulangie terbit, China adalah kekuatan kapitalis yang tak peduli menjadi kucing hitam atau kucing putih lagi. Mao tse Tung sudah berdiri santai dalam bentuk patung di Shanghai. Patung Lenin dan Stalin malahan sudah disingkirkan dari negara-negara Eropa Timur.

India tertinggal dari China, bahkan dibanding anak atau cicitnya sesama koloni Inggris: Australia. Jika perlombaan nuklir bisa dihentikan di negara-negara Pan Aziatisme, India dan Pakistan barangkali bakal memiliki energi lebih guna memimpin angka-angka pertumbuhan ekonomi satu atau dua dekade ke depan.

Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun