Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Potret 5 Tahun Partai Golkar

28 Mei 2019   06:08 Diperbarui: 29 Mei 2019   19:24 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejarah perjalanan Partai Golkar terpasang di salah satu sudut kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (2/7/2018). | Foto: KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Butuh waktu 20 tahun bagi Partai Golkar guna memenangkan kontestasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Republik Indonesia (RI) yang diselenggarakan secara langsung. 

Walau sempat menggagas Konvensi Nasional Partai Golkar dalam mencari sosok Calon Presiden (Capres) RI tahun 2003-2004, ternyata tak membuahkan hasil positif. Pasangan Wiranto - Salahuddin Wahid yang diusung Partai Golkar ternyata kandas dalam putaran pertama. Tahun 2009, Partai Golkar dan Partai Hanura mengusung Muhammad Jusuf Kalla - Wiranto. Kembali Partai Golkar tak berhasil mengalahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Boediono.

Dalam Pilpres 2014, Partai Golkar kesulitan mendapatkan mitra koalisi, sehingga dalam waktu yang sempit memutuskan untuk mengusung pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa. Mayoritas pemilih memberikan suara kepada lawannya, yakni Joko Widodo - Muhammad Jusuf Kalla.

Jelang Pilpres 2019 yang dilaksanakan serentak dengan Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) -- dikenal sebagai Pemilu Legislatif (Pileg) -- Partai Golkar sama sekali tidak ada tanda-tanda memunculkan calon internal sejak Pilpres 2014 berakhir. Partai Golkar malah lebih sibuk dengan perpecahan internal, yakni dualisme kepengurusan.

Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sama-sama  mendapatkan status sebagai kepengurusan yang sah, sejak bulan Desember 2014. Selama satu setengah tahun, kedua kepengurusan ini berjalan. Gugat-menggugat terjadi pada pelbagai jenjang pengadilan. Hasil terburuk diraih Partai Golkar, yakni paling sedikit memenangkan pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) serentak, pada tahun 2016.

Bulan Mei 2016, dualisme kepengurusan berakhir. Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar dihelat di Bali. Setya Novanto terpilih dengan suara mutlak sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. 

Di luar itu, perubahan struktur kepengurusan terjadi. Selain DPP Partai Golkar, turut dilahirkan lembaga Dewan Pembina Partai Golkar dengan Ketua Aburizal Bakrie, Dewan Penasehat Partai Golkar dengan Ketua BJ Habibie dan Dewan Pakar Partai Golkar dengan Ketua Agung Laksono.

Partai Golkar - Foto Arsip Pribadi
Partai Golkar - Foto Arsip Pribadi
Setahun kemudian, dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar yang digelar di Balikpapan pada bulan Mei 2017, dihasilkan tiga keputusan penting. 

Pertama, pembentukan Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) untuk Pilpres dan Pileg 2019. Kedua, penjaringan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi dan DPR RI. Ketiga, dukungan terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo demi kepentingan rakyat dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan (NK) RI dan ideologi Pancasila. Keputusan itu menunjukkan bahwa Partai Golkar sudah menggabungkan diri dengan partai-partai politik pendukung pemerintah lainnya.

Bagian dari butir keputusan Partai Golkar itu adalah membentuk Bapilu untuk mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden RI tahun 2019. Artinya, Partai Golkar satu tahun dua bulan lebih cepat dalam memutuskan Capres, dibandingkan dengan tahapan resmi Pilpres 2019 yang dimulai pada bulan Agustus 2018. 

Keputusan yang juga lebih cepat dari partai-partai politik lain. Kinerja Partai Golkar berbuah lebat, yakni kembali menjadi pemenang dalam pilkada serentak yang digelar tahun 2017. Lembaga-lembaga survei juga menunjukkan kenaikan suara dari Partai Golkar.

Namun, kurang dari satu semester setelah Rapimnas, Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI pada tanggal 10 November 2017. 

Kemampuan di bidang politik dalam konsolidasi Partai Golkar ternyata tak berhubungan dengan penilaian di bidang hukum. Partai Golkar kembali terguncang. Dalam situasi yang sulit itu, Idrus Marham ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Umum DPP Partai Golkar. Jadwal Munaslub kembali disusun, yakni tanggal 19 - 20 Desember 2017.  Posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI juga beralih kepada Bambang Soesatyo yang juga sama-sama petinggi dalam tubuh Partai Golkar.

Dalam masa yang penuh gejolak itu, Airlangga Hartarto muncul sebagai satu-satunya kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar. Peserta Munaslub secara aklamasi menetapkan Airlangga sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar sampai masa waktu berakhir, yakni tahun 2019. Dua agenda besar langsung menghadang, yakni pilkada serentak 2018 dan pemilu serentak 2019. Waktu yang tersedia untuk mempersiapkan segala sesuatunya hanya tujuh bulan.

Untunglah, Presiden Jokowi memberikan diskresi (pengecualian) kepada Airlangga. Semula, Presiden Jokowi sama sekali tidak membolehkan rangkap jabatan penting kepada para menteri, terutama sebagai Ketua Umum partai politik. 

Kebijakan itu sama sekali tak diberlakukan kepada Airlangga. Tapi, bukan berarti beban kerja Airlangga sebagai menteri juga dikurangi. Presiden Jokowi sama sekali tidak menunjuk Wakil Menteri Perdagangan RI, misalnya.

Baik sebagai Menteri Perdagangan RI ataupun sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, sangat tergantung kepada kinerja dan kualitas kepemimpinan Airlangga. Diskresi yang diberikan oleh Presiden Jokowi sekaligus batu ujian yang maha berat bagi Airlangga. Kegagalan dalam salah satu amanah yang diemban, apalagi pada keduanya, bakal berakibat buruk bukan hanya bagi Airlangga, tetapi juga kepada pemerintah dan atau Partai Golkar secara keseluruhan.  

"Keputusan yang juga lebih cepat dari partai-partai politik lain. Kinerja Partai Golkar berbuah lebat, yakni kembali menjadi pemenang dalam pilkada serentak yang digelar tahun 2017. Lembaga-lembaga survei juga menunjukkan kenaikan suara dari Partai Golkar."

Tanpa banyak membuat pernyataan publik, Airlangga bergerak cepat. Bisa dikatakan, Airlangga adalah Ketua Umum DPP Partai Golkar yang kelima setelah Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Setya Novanto dan Idrus Marham dalam periode kepengurusan DPP Partai Golkar 2014-2019. 

Belum selesai dengan kasus hukum Novanto, turbulensi baru datang. Idrus Marham yang sudah menjabat sebagai Menteri Sosial RI selama tujuh bulan, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK RI pada bulan Agustus 2018. Agenda pemilu serentak sudah berjalan. Efek bola bilyar atas pergantian Idrus Marham ikut berputar dalam kepengurusan DPP Partai Golkar.

Dengan kondisi internal yang masih tambal sulam itu, tentu sulit bagi Partai Golkar mengajukan Cawapres sebagai pendamping Jokowi. Partai Golkar juga tidak ingin memberikan beban kepada Joko Widodo dalam mengambil keputusan. 

Karena itu, Partai Golkar sedapat mungkin memberikan ruang yang nyaman kepada Jokowi, baik sebagai Presiden yang sedang bertugas, maupun sebagai Calon Presiden. Barisan legislator Partai Golkar di DPR RI berperan besar dalam mempercepat pelaksanaan fungsi anggaran, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. 

Airlangga sebagai Menteri Perindustrian dan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Menteri Sosial RI juga tampil dengan baik dalam menjalankan tugas-tugas yang diemban. Sejumlah bencana alam yang terjadi betul-betul membutuhkan peran penting Kementerian Sosial RI, misalnya.

Hampir tidak ada gejolak yang serius dalam tubuh Partai Golkar selama pemilu serentak digelar. Terdapat memang sejumlah anak muda yang memberikan dukungan terbuka kepada pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Salahuddin Uno dengan membentuk Golkar Prabu. 

Namun, dampak kehadiran Golkar Prabu tidak terlalu besar. Diluar itu, para kader dan fungsionaris Partai Golkar juga terlibat dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) dan Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi - Ma'ruf Amin. 

Sejumlah organisasi relawan juga dibentuk, baik atas persetujuan resmi DPP Partai Golkar, maupun atas nama kelompok dan individu. Pergerakan kader dan fungsionaris Partai Golkar itulah yang sedikit banyak berperan dalam menghadang suara-suara yang berbeda dalam tubuh partai.

Muara dari potret sekilas itu sudah sama-sama diketahui. Tinggal menunggu keputusan akhir yang bersifat final dan mengikat dari Mahkamah Konstitusi (MK) RI, dari sengketa Pileg dan Pilpres yang sudah didaftarkan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun