2016.
"Berarti enak ya, Bu, nikah sama orang Betawi. Punya tanah luas, bisa keisi beberapa rumah. Terus, kontrakannya juga berpintu-pintu. Kalo bosen sama rumah sendiri, tinggal pindah sesuka hati, gratis pula," kataku terkekeh.
Malam itu, aku sedang berbincang dengan Ibu, sekaligus mendiskusikan perihal giliran Eyang Putri menginap di rumah kami setelah sebelumnya di rumah Onte, tanteku. Mereka adalah keluarga dari pihak bapakku.
"Ya, nggak gitu juga, Ra," ujar Ibu lalu menyeruput susu hangatnya dari mug. "Tapi, Om kamu emang kaya banget, sih. Turun temurun."
Aku teringat beberapa rumah Onte yang telah kami singgahi, termasuk yang baru ini.
Saat pertama kali berkunjung ke sana, aku tak bisa mengira-ngira ukuran rumah Onte, tetapi itu lebih dari sekadar kata luas untuk ditempati sebuah keluarga yang hanya beranggotakan 7 orang. Onte dan Om memiliki lima anak, yang dua terakhirnya kala itu masih TK dan balita.
Kami sekeluarga turun dari mobil usai Bapak memarkirkannya di halaman. Pagar besar dan tinggi itu langsung ditutup oleh seorang pria, pekerja Onte. Sebagian cat putih pagar tersebut sudah mengelupas dan berkarat.
Tanah halaman ini dipasang batu conblock berbentuk segilima. Di sela-selanya tumbuh rerumputan tipis. Selain semak, di pinggiran halaman itu juga tersebar pot-pot tanaman beraneka ukuran, dan pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Desir angin sesekali meniup dan menggoyangkan pepohonan, mengalahkan suara riuh kendaraan yang melintas di jalan raya depan rumah Onte---memberi kesan asri dan teduh, tetapi di sisi lain juga menciptakan suasana abnormal untuk ukuran rumah yang terletak di Timur kota Jakarta.
Pandanganku lalu tertuju pada rumah utama yang sejajar agak jauh dari gerbang. Sebenarnya tak ada yang salah, tetapi saat melihatnya terlalu lama, seperti ada sesuatu yang memandang balik dari jendela. Atmosfernya sepi, tetapi terasa berat seolah menekan dada. Sesak.