Di tanah subur Bayat, Klaten, Jawa Tengah, sebuah bukit bernama Jabalkat berdiri tenang namun menyimpan jejak sejarah yang sangat dalam.
 Di atas bukit itulah bersemayam sosok ulama besar yang turut berperan dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa-Sunan Pandanaran, yang juga dikenal dengan nama Sunan Bayat.Â
Makamnya menjadi pusat ziarah ribuan umat dari berbagai penjuru negeri setiap tahunnya. Namun yang menjadikan situs ini lebih dari sekadar makam adalah jalur menuju ke puncaknya seperti sebuah tangga panjang yang menjadi ikon, simbol, dan sarana spiritual yang tak terpisahkan dari pengalaman religius masyarakat.
Tangga itu bukan hanya jalan fisik, melainkan juga jalan batin. Setiap anak tangganya mengandung nilai, makna, dan kenangan yang telah mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat Bayat dan para peziarah.Â
Tangga tersebut menghubungkan lebih dari sekadar kaki bukit dan puncaknya, ia menghubungkan masa lalu dan masa kini, bumi dan langit, manusia dan Tuhannya.
Makam Sunan Pandanaran berada di ketinggian sekitar 860 meter di atas permukaan laut, menjadikannya bukan lokasi yang mudah dicapai tanpa kemauan kuat.Â
Tetapi, justru karena letaknya yang tinggi itulah nilai spiritualnya terasa makin dalam. Diperlukan perjuangan dan tekad untuk mencapainya-dan di sinilah letak simbolisme pertama dari tangga ia menjadi representasi laku hidup manusia yang harus terus mendaki untuk mencapai derajat spiritual yang lebih tinggi.
Tak banyak yang tahu bahwa tangga tersebut tidak dibangun dalam satu masa. Berdasarkan penuturan masyarakat lokal, pembangunan tangga terjadi secara bertahap dan dilakukan dengan semangat gotong-royong.Â
Tidak ada dokumentasi resmi tentang tahun persis pembangunan awalnya, tetapi yang pasti, seiring berkembangnya tradisi ziarah ke makam Sunan Pandanaran, kebutuhan akan akses yang aman dan layak pun mendorong masyarakat untuk membangun tangga sebagai bentuk penghormatan sekaligus kemudahan bagi peziarah.
Jumlah anak tangganya kini diperkirakan antara 250 hingga 300, tergantung titik mana yang dijadikan awal hitungan. Beberapa sumber menyebut angka yang lebih tinggi karena adanya penambahan jalur baru yang berfungsi sebagai rute alternatif.
 Perbedaan ini tidak mengurangi makna keseluruhannya—justru memperkaya narasi bahwa tangga tersebut terus bertumbuh dan bertransformasi bersama zaman, namun tetap menjaga ruh aslinya.