Dalam hidup bermasyarakat, sikap peduli terhadap orang lain adalah nilai yang sangat penting dan selalu dihargai. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi, pengakuan, dan penerimaan dari orang sekitar. Namun, jika sikap peduli ini terlalu berlebihan, bisa jadi berubah menjadi cara berperilaku yang justru merugikan diri sendiri. Fenomena ini disebut dengan people pleaser, yaitu sifat seseorang yang selalu berusaha membuat orang lain senang, meskipun harus mengorbankan kebutuhan diri sendiri.
Orang yang memiliki sifat people pleaser biasanya sulit untuk menolak permintaan bantuan. Mereka lebih memilih mengiyakan, meskipun sebenarnya tidak mampu. Dalam psikologi, hal ini sering muncul karena kebutuhan akan pengakuan sosial dan rasa takut ditolak. Dalam bukunya yang berjudul "The Disease to Please", Harriet B. Braiker menyatan bahwa people pleaser adalah "penyakit untuk menyenangkan", yaitu cara seseorang menilai dirinya layak hanya jika bisa memenuhi keinginan orang lain.
Di sisi lain, sifat people pleaser terlihat sebagai pribadi yang penuh empati, mudah membantu, dan menjaga harmoni dalam hubungan.
Hal ini sejalan dengan budaya kita yang mengutamakan gotong royong dan kerja sama. Namun, jika dilakukan secara berlebihan, sikap ini bisa menimbulkan dampak negatif. Penelitian Helgeson dan Fritz menunjukkan bahwa orang yang terlalu memprioritaskan kebutuhan orang lain cenderung rentan mengalami stres, kelelahan emosional, bahkan depresi. Mereka juga kehilangan kemampuan untuk memperlihatkan identitas diri secara jujur karena takut mengecewakan orang lain.
Kondisi ini juga menyebabkan hilangnya jati diri. Ketika hidup hanya diarahkan untuk dicintai dan diterima orang lain, maka keputusan pribadi, tujuan hidup, bahkan perasaan diri sendiri menjadi samar dan tidak terkendali. Dalam kondisi ini, seseorang jarang hidup dengan kebenaran diri, melainkan hanya menyerah pada ekspektasi orang lain.
Sikap people pleaser berasal dari rasa takut pada orang-orang penting dalam hidup kita. Kita takut mereka memandang kita dengan cara negatif atau punya persepsi buruk terhadap kita. Karena itu, kita secara tidak sadar berusaha menyenangkan mereka, bukan karena kebutuhan mereka, tapi hanya agar diterima.
Untuk mengatasi ini, kita perlu menyadari bahwa sikap peduli terhadap orang lain harus seimbang dengan penghargaan terhadap diri sendiri. Menetapkan batasan dalam berinteraksi sangat penting agar tetap bisa membantu tanpa merugikan diri. Selain itu, keberanian untuk menolak dengan cara sopan adalah tanda kedewasaan, bukan bentuk egoisme. Dengan menyeimbangkan antara kepedulian sosial dan kebutuhan pribadi, seseorang bisa hidup lebih sehat secara emosional sekaligus menjaga hubungan yang harmonis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI