Ketidaksetaraan gender masih menjadi persoalan mendasar dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Meskipun telah banyak kebijakan yang menjamin kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Indonesia sudah memberikan kebebasan setiap warga negara untuk mengenyam Pendidikan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." namun kenyataannya yang terjadi di lapangan sering kali menunjukkan dominasi budaya patriarki memberikan kaum laki-laki dalam posisi, pendidikan, serta kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Cara padang ini sering terjadi diwilayah pedesaan yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional. Dimana masyarakat desa sering kali memandang perempuan sebagai seorang istri yang mendampingi suami dan ibu rumah tangga yang mengasuh anak-anakya bukan di ruang publik dan ranah pendidikan. Masih banyak desa yang beranggapan bahwa pendidikan tinggi tidak terlalu penting bagi perempuan. Sebaliknya, pendidikan tinggi bagi laki-laki sering dianggap sebagai investasi baik di ranah ekonomi maupun di ranah sosial. Selain itu juga di daerah pedesaan anak perempuan sering dinikahkan muda dibandingkan didorong untuk berpendididkan tinggi. Dengan demikian, budaya patriarki bukan sekadar struktur sosial, tetapi juga simbol budaya yang direproduksi secara turun-temurun. Budaya patriarki ini meneyababkan ketimpangan serta ketidakadilan gender yang kemudian berdampak luas dalam lingkungan masyarakat khususnya bagi perempuan yang tidak memiliki akses pendidikan yang setara degan laki-laki.Â
Sistem pendidikan seharusnya menjadi sarana integrasi sosial dan mobilitas sosial. Namun, pada kenyataannya, patriarki menyababkan adanya struktur sosial yang menormalisasi peran gender tradisional. Di era modern, bentuk ketidaksetaraan gender dalam pendidikan tidak hanya tampak dalam angka partisipasi, tetapi juga dalam pengalaman belajar dan kesempatan karier. Dalam sistem pendidikan sekolah dalam pemilihan jurusan Laki-laki diarahkan ke bidang teknik, matematika, atau sains, sedangkan perempuan ke pendidikan, keperawatan, atau seni. Perempuan kurang terwakili di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), sehingga kesenjangan karier dan pendapatan terus berlanjut (Kursanto, 2024).Â
Selain itu juga Guru memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir dan nilai-nilai peserta didik. Namun dalam sistem pendidikan yang masih dipengaruhi budaya patriarki, guru sering kali menjadi agen reproduksi nilai patriarki, baik secara sadar maupun tidak. Dimana guru lebih sering meminta siswa laki-laki memimpin kelompok, sementara siswa perempuan diberi tugas mencatat atau menata kelas. Kurikulum dan buku pelajaran sering mengandung narasi patriarkis terselubung. Salahsatu contohnya dalam Ilustrasi buku menunjukkan ayah bekerja dan ibu memasak. Tokoh-tokoh sejarah atau ilmuwan yang dipelajari sebagian besar laki-laki.
Selain itu, fenomena pelecehan seksual di lingkungan pendidikan juga menjadi bukti nyata masih kuatnya dominasi patriarki. Banyak kasus yang tidak dilaporkan karena adanya ketimpangan kekuasaan antara dosen dan mahasiswa atau guru dan murid. Ini memperlihatkan bahwa budaya patriarki tidak hanya mengatur peran sosial, tetapi juga membentuk struktur kekuasaan yang menekan perempuan dalam konteks pendidikan. Oleh karena itu, upaya untuk menghapus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan penegakan hukum, tetapi juga harus disertai dengan perubahan nilai budaya, pendidikan kesetaraan gender, dan pemberdayaan sosial bagi perempuan agar keseimbangan kekuasaan dapat tercapai.
Ketidaksetaraan gender dalam bayang-bayang patriarki menimbulkan dampak luas terhadap pembangunan manusia. Pendidikan seharusnya menjadi ruang emansipasi, bukan reproduksi ketimpangan. Oleh karena itu, perlu upaya transformasi budaya melalui pendekatan gender mainstreaming dalam pendidikan, yakni integrasi perspektif kesetaraan gender ke dalam kurikulum, kebijakan, dan praktik pembelajaran. Selain itu, teori feminisme interseksional (Kimberl Crenshaw) menekankan bahwa ketidaksetaraan tidak hanya dilihat dari jenis kelamin, tetapi juga dari faktor kelas, ras, dan budaya lokal (Nixon, 2023). budaya setempat agar program kesetaraan tidak sekadar impor dari barat, melainkan sesuai dengan nilai-nilai lokal yang mendukung keadilan sosial.
Untuk mengatasi budaya patriarki di dalam duni pendidikan dibutuhkan upaya-upaya strategis dan berkelanjutan baik dari sisi kurikulum, kebijakan, maupun budaya sekolah. Langkah pertama untuk mengatasi patriarki di dunia pendidikan adalah mengintegrasikan kesetaraan gender dalam kurikulum dan materi pembelajaran, menghapus narasi dan ilustrasi yang memperkuat stereotip gender misalnya ayah bekerja dan ibu di rumah. Memasukkan tokoh-tokoh perempuan berprestasi dalam buku pelajaran sejarah, sains, dan sosial. Menyisipkan tema kesetaraan gender dalam mata pelajaran seperti PKN, Sosiologi, dan Pendidikan Agama. Selain itu juga sekolah sebagai lembaga sosial harus memiliki kebijakan internal yang adil dan sensitif terhadap gender. Seperti menyediakan mekanisme pelaporan kasus kekerasan atau pelecehan berbasis gender yang aman dan rahasia, menjamin kesempatan yang sama bagi siswa laki-laki dan perempuan dalam organisasi sekolah, lomba, dan kegiatan ekstrakurikuler, menegakkan aturan yang melindungi siswa dari diskriminasi, termasuk berdasarkan penampilan, orientasi, atau ekspresi gender.
Permasalahan budaya patriarki dalam dunia pendidikan tidak hanya soal diskriminasi, tetapi juga menyangkut struktur sosial, nilai budaya, dan cara berpikir yang diwariskan secara turun-temurun. Solusinya harus bersifat sistemik, partisipatif, dan berkelanjutan, melibatkan semua pihak baik itu, guru, siswa, sekolah, keluarga, hingga pembuat kebijakan.
Dengan demikian, pendidikan dapat berfungsi bukan hanya sebagai sarana transfer ilmu saja, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial yang membebaskan semua individu dari ketidakadilan gender.
Referensi
Kusnanto, R. A. B., Astuti, T. M. P., Hartono, H., Prambudi, D. D., & Syakir, S. (2024). Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Seni. Jurnal Perspektif Pendidikan, 18(2), 162-169.
Nixon, G. (2023). Intersectional Theology: An Introductory Guide: oleh Grace Ji-Sun Kim dan Susan M. Shaw. Indonesian Journal of Theology, 11(1).