Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Parcel Lebaran Pengalih Rasa Lapar

19 April 2021   05:00 Diperbarui: 19 April 2021   05:07 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hadiah, apapun bentuknya, selalu disukai anak-anak (Sumber: congerdesign/pixabay)

Jika bicara tentang masa kecil, tentu ingatan saya akan melayang pada tahun-tahun di mana saya menjalani kehidupan sebagai anak kecil di Semarang. Kedua orangtua saya sebenarnya Jawa Timur asli, penggemar rujak cingur, rawon, dan tahu campur sejati. Namun pekerjaan sebagai tentara mengirimkan ayah saya bertugas di Semarang sejak sebelum saya lahir sampai saya berumur 8 tahun lebih.

Jadi kalau ditilik dari darah yang mengalir, saya itu wong Jawa Timur asli; tapi dari tempat lahir dan lingkungan masa kecil, saya bisa mengaku wong Jawa Tengah. Bahasa-bahasa semarangan bisa dikit-dikitlah, tapi lebih piawai bahasa Jawa Timuran yang agak kasar. Sebabnya ya kemudian setelah saya umur 8 tahun itu, ayah saya mutasi ke Jawa Timur. Beliau mengabdi pindah-pindah di beberapa kota di Jawa Timur sampai pensiun.

Nah, mendapatkan topik tentang nostalgia suasana Ramadan di masa kecil, membuat saya menggali kembali ingatan saat di Semarang itu. Saya mencoba menggali kenangan yang paling menarik bagi bocah kecil lugu, alias saya waktu itu.

Terus terang, kalau harus menulis cerita tentang ibadah Ramadan saat kecil, nggak banyak yang bisa ditulis. Ingatan tentang tarawih cuma ada satu moment, karena saya paling malas tarawih waktu itu. Buka puasa di musala? Lebih-lebih lagi, nggak pernah. Jalan-jalan dengan teman setelah salat subuh? Blas.

Jadi apa dong, yang diingat? Semelas itukah kenangan Ramadanmu? Takjil favorit misalnya, nggak ada? Beneran nggak ada. Menurut saya semua hidangan buka puasa itu enak, karena dimakan ketika kita sudah lelah berpuasa sehari.

Ketika sedang asyik menggali-gali ingatan, saya mendapatkan memori Ramadan termenyenangkan yang bisa saya ingat. Setelah kroscek melalui chat wa dengan kakak saya, saya mulai menuliskan tulisan ini.

Seperti apa sih kira-kira Ramadan termenyenangkan buat bocah kecil lugu seperti saya waktu itu? Ramadan dengan banyak makanan dan duit pasti! Dulu menyenangkan karena sebagai bocah kecil lugu, tinggal tau makan dan terima uang. Kalau di posisi emak-emak sekarang agak peritungan dikit ya, karena jadi pihak yang mengeluarkan dana, hahaha.

Kembali ke ingatan saya, dulu ada saat Ramadan ketika banyak kiriman parcel lebaran datang ke rumah. Oh ya, saya tetap memakai istilah parcel lebaran walau sekarang tahu kalau yang dimaksud parcel lebaran zaman dulu itu lebih pas jika disebut hampers.

Jadi parcel itu sebenarnya lebih merujuk pada semua barang baik dokumen, makanan, barang yang terbungkus dengan baik kemudian dikirim. Sedangkan hampers, itu artinya keranjang yang merujuk pada bingkisan yang diatur dalam keranjang dan saat mengirimkannya perlu perlakuan khusus (perlu kehati-hatian agar tidak rusak).  

Nah, parcel-parcel lebaran (atau sebenarnya hampers) itu tiba di rumah kami sejak pertengahan Ramadan. Oleh ibu, parcel itu tidak langsung dibuka, melainkan dibiarkan saja dan hanya disimpan di pojok ruangan. Semakin mendekati lebaran jumlah parcel semakin bertambah, dan melihat parcel berjajar di lantai, menjadi kesenangan tersendiri buat saya dan kakak perempuan saya.

Sehari-hari saat puasa untuk mengalihkan rasa lapar, saya dan kakak mengamat-amati isi parcel tanpa membukanya. Jadi bentuknya adalah keranjang yang di dalamnya diisi aneka makanan kemudian dikemas rapi dengan plastik bening, kadang dipermanis dengan pita-pita, dan tak lupa kartu ucapan dari si pengirim.

Tampilannya sungguh cantik, tapi lebih menarik lagi yang ada di dalamnya. Ada cokelat, permen, biskuit kaleng, sirup, minyak goreng, kecap, dan lain-lain. Kami sibuk memilih dan asyik mengklaim yang mana yang mau kami ambil dan nikmati sendiri.

"Cokelatnya buat aku!"

"Buat aku!"

"Aku!"

Norak banget kan?

Tingkah kami kayak AKB alias Anak Kaya Baru (plesetan dari OKB alias Orang Kaya Baru). Itu masih tahun 80-an di mana barang bagus kan, jarang. Lagi pula sepertinya itulah pertama kalinya ayah saya menerima banyak parcel. Saya juga tidak terlalu ngeh parcel-parcel itu dari mana.

Analisis saya sekarang sih, mungkin waktu itu jabatan ayah sudah lebih baik dari sebelumnya. Sehingga namanya lebih dikenal oleh lingkungan sekitar, termasuk dikenal oleh pemilik toko-toko dan usaha kecil yang kemudian mengirimkan parcel pada kami.

Ini semacam grativikasi kalau sekarang, ya? 

Beberapa tahun sesudahnya, saya mendengar bahwa pejabat dilarang menerima parcel lebaran. Ya, kami kemudian memang tidak menerima banyak parcel lagi di tahun-tahun setelah itu. Tapi kenangan pernah menerima banyak parcel itu selalu menjadi kenangan yang indah bagi sisi anak-anak dalam jiwaku.

Kalau dalam pemikiran sederhana saya sih, wong parcel dikasih bukan minta, kok. Jadi jatuhnya tetap halal, insyaAllah. Kalau kemudian dilarang karena berbagai pertimbangan pemerintah, ya tinggal sebagai warga negara yang baik kita nurut dan menjalankannya saja. Daripada diciduk KPK gegara terima grativikasi, kan?

Nah, demikianlah nostalgia Ramadan termenyenangkan versi saya di masa kecil, bagaimana dengan kamu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun