Pendidikan di Indonesia sering dipandang sebagai jembatan yang menghubungkan beragam perbedaan di negeri ini. Lewat kurikulum nasional, harapannya siswa dari berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke bisa belajar hal yang sama dan merasa menjadi bagian dari Indonesia. Tapi benarkah begitu? Apakah semua budaya di negeri ini benar-benar mendapat ruang yang setara di dalam buku pelajaran? Atau jangan-jangan, ada budaya yang lebih sering ditampilkan, sementara budaya lainnya justru perlahan terpinggirkan dan terlupakan?
Kalau kita perhatikan, banyak materi pelajaran yang menampilkan budaya dari Jawa. Mulai dari cerita rakyat, tarian, hingga tokoh-tokoh sejarah yang sering muncul di buku teks. Budaya Jawa seolah menjadi wajah utama Indonesia di ruang kelas. Bukan berarti budaya Jawa tidak penting, tapi pertanyaannya, di mana cerita tentang Papua? Bagaimana dengan sejarah Maluku, Nusa Tenggara, atau Kalimantan? Budaya mereka juga bagian dari Indonesia, tapi seringkali hanya muncul sekilas, bahkan kadang tidak disebutkan sama sekali.
Siapa yang Paling Sering Muncul di Buku Pelajaran?Â
Kalau kita jujur, siapa sih yang paling sering muncul di buku-buku pelajaran? Nama-nama seperti Gajah Mada, Majapahit, atau tokoh-tokoh perjuangan dari Jawa pasti sudah akrab di telinga kita sejak SD. Tapi bagaimana dengan kisah Sultan Baabullah dari Ternate? Atau pahlawan seperti Martha Christina Tiahahu dari Maluku? Sering kali mereka hanya disebut sekilas, itu pun tanpa penjelasan yang mendalam. Dalam artikel "Representasi Budaya dalam Buku Pelajaran Sejarah Indonesia" yang ditulis oleh Annisa dan Mahmud (2020), ditemukan bahwa gambar dan cerita dalam buku sejarah nasional masih banyak didominasi oleh budaya Jawa. Budaya dari luar Jawa, apalagi dari Indonesia Timur, hanya menjadi pelengkap dan sering terpinggirkan. Hal ini ternyata cukup berdampak pada cara siswa memahami Indonesia. Perlahan, mereka belajar bahwa yang sering muncul itulah yang dianggap penting. Yang jarang disebut? Mungkin dianggap tidak terlalu berkontribusi pada cerita bangsa. Tanpa sadar, kurikulum kita ikut membentuk persepsi seperti itu.
Bayangkan jika seorang anak Papua atau anak Maluku bersekolah dan hampir tidak pernah menemukan budayanya sendiri dalam buku teks, dalam contoh soal, atau dalam cerita yang dibacakan guru di kelas. Mereka tumbuh dengan pelajaran yang lebih sering mengangkat budaya dan sejarah dari Jawa, sementara cerita dari daerahnya sendiri nyaris tidak terdengar. Kalau begini terus, anak-anak bisa merasa budayanya tidak penting, atau bahkan mengira bahwa sejarah mereka tidak punya tempat dalam narasi besar Indonesia. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk semua orang merasa diakui. Seperti Banks dan Banks (2010) dalam Multicultural Education: Issues and Perspectives, "Ketika siswa tidak menemukan dirinya dalam kurikulum, mereka cenderung merasa bahwa mereka tidak dihargai dalam masyarakat." Artinya, representasi itu penting. Anak-anak perlu melihat budayanya sendiri hadir di buku, di kelas, dan di ruang-ruang belajar lainnya, agar mereka tahu bahwa mereka adalah bagian yang berharga dalam bangsa ini.Â
Budaya Mana yang Lebih Penting?
Sebenarnya, masalah ini bukan soal menyalahkan budaya Jawa. Budaya Jawa jelas bagian penting dari Indonesia dan punya warisan yang besar. Tapi yang perlu kita kritisi adalah bagaimana kebijakan pendidikan nasional selama ini justru lebih sering menyoroti budaya mayoritas, sementara budaya dari kelompok lain seringkali terlupakan. Parker dan Hoon (2014) juga menegaskan bahwa meskipun Indonesia adalah negara multikultural, dalam praktiknya kebijakan pendidikan masih terlalu fokus pada budaya yang dominan. Artinya, bukan cuma soal apa yang ditulis di buku, tapi juga soal siapa yang dipilih untuk diceritakan dan siapa yang akhirnya diabaikan. Kalau sistem pendidikan kita hanya memunculkan cerita dari satu sisi, kita perlu bertanya: apakah ini benar-benar pendidikan yang mewakili semua, atau justru pendidikan yang pelan-pelan menghilangkan sebagian wajah Indonesia?
Saatnya Perbaiki Kurikulum Nasional
Sudah waktunya kita membayangkan pendidikan yang benar-benar setara. Pendidikan yang tidak hanya mengulang cerita dari budaya mayoritas, tapi juga memberi ruang yang pantas bagi budaya-budaya lain yang selama ini jarang terdengar. Setiap daerah punya cerita, setiap suku punya sejarah, dan setiap budaya punya kebanggaan yang layak dibagikan di ruang kelas. Kurikulum nasional seharusnya menjadi cermin yang memantulkan keberagaman itu, bukan sekadar membingkai budaya dari satu wilayah saja. Buku pelajaran bisa mulai menghadirkan lebih banyak tokoh, cerita rakyat, atau kesenian dari berbagai pelosok Indonesia, agar anak-anak dari manapun merasa dekat dengan pelajaran yang mereka baca. Guru juga punya peran besar untuk mengajak siswa menggali budaya lokal mereka sendiri, supaya ruang belajar menjadi tempat yang betul-betul merayakan perbedaan, bukan menyamaratakannya. Karena pada akhirnya, belajar bukan hanya soal menghafal. Belajar adalah perjalanan menemukan diri, mengenali lingkungan, dan merasa menjadi bagian dari Indonesia yang utuh. Kalau pendidikan kita masih hanya menampilkan sebagian kecil cerita, mungkin sudah waktunya kita bertanya: Indonesia yang mana yang sedang kita pelajari?
Pada akhirnya, pendidikan adalah tentang membangun rasa memiliki. Ketika semua budaya diberi ruang yang setara, setiap anak bisa tumbuh dengan rasa bangga terhadap siapa dirinya dan dari mana asalnya. Indonesia terlalu luas untuk diceritakan dari satu sudut saja. Sudah saatnya kita bersama-sama mendorong pendidikan yang benar-benar mencerminkan keberagaman, bukan yang menyederhanakan perbedaan. Karena bagaimana mungkin kita bisa mencintai Indonesia seutuhnya, jika sebagian dari Indonesia tidak pernah kita kenal sejak di bangku sekolah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI