Sekitar 7 bulan Negara Indonesia telah menghadapi masa Pandemi Covid-19. Hal ini dihitung saat kasus pertama terjadi pada tanggal 2 Maret 2020. Setelah kasus tersebut, jumlah kasus positif Covid-19 mengalami peningkatan. Banyak berita hoaks terkait Covid-19 bermunculan di berbagai media. Mengatasi Covid-19 tidak cukup dengan penanganan penyakit saja. Kita juga harus mengklarifikasi berita hoaks yang beredar. Terlebih mudahnya menciptakan dan menyebarkan informasi di era digital saat ini. Jika kurang teliti, masyarakat dapat menjadi sasaran korban hoaks. Menurut pemberitaan Kompas.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika mendeteksi 1.016 isu hoaks terkait Covid-19 yang tersebar di 1.912 platform. Sementara, berdasarkan catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), sejak akhir Januari-September 2020, terdapat sekitar 600 hoaks terkait Covid-19 yang telah diluruskan atau klarifikasi. Mafindo menyatakan sekitar 20 persen di antaranya merupakan hoaks seputar isu pencegahan dan pengobatan Covid-19. Banyak pemberitaan terkait pencegahan dan pengobatan yang merupakan hoaks. Terlebih masyarakat Indonesia memiliki kecenderung mudah percaya terhadap informasi berdasarkan testimony based.
Salah satu berita hoaks pandemi ialah pemberitaan vaksin Covid-19. Fakta palsu terkait vaksin Covid-19 disertai informasi bahwa vaksin menyebabkan bahaya atau berita vaksin dapat memperburuk keadaan penderita demam berdarah dengue (DBD) merupakan contohnya. Namun hoaks terkait vaksin belum mendapat banyak tanggapan dari pemerintah. Selain berita hoaks, berbagai isu yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 adalah konspirasi juga tersebar di berbagai media dan ada beberapa masyarakat percaya pada hal tersebut. Faktanya, terdapat 26,52 juta orang di dunia telah terinfeksi virus corona dan terdapat ratusan ribu masyarakat dunia telah meninggal akibar Covid-19.
Ada berbagai macam teori konspirasi yang diperdebatkan. Contohnya teori tentang kebocoran laboratorium biologi China, teori pengembangan senjata biologis, teori pemasangan chip di dalam tubuh manusia, dan lain sebagainya. Para ilmuwan menyatakan dengan tegas pandemi COVID-19 tidak merupakan konspirasi suatu negara atau oknum tertentu. Salah satu pihak yang meyakini COVID-19 merupakan konspirasi adalah musisi I Gede Ari Astina alias Jerinx. Jerinx mengungkapkannya lewat media sosialnya sehingga menyebabkan dirinya tersandung kasus hukum dan ditahan karena menyebut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai kacung WHO. Selain Jerinx, artis lain yang menjadi pemberitaan adalah penyanyi Erdian Aji Prihartanto alias Anji. Anji dibicarakan karena video wawancara dengan Hadi Pranoto yang menyatakan telah menemukan obat Covid-19 viral di media sosial. Hadi mengaku dirinya seorang profesor atau ahli mikrobiologi, merupakan Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19 menyatakan telah menemukan antibodi Covid-19 yang mampu mencegah dan menyembuhkan pasien terinfeksi lewat video berjudul "Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!". Video tersebut mendapat berbagai kritikan dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya sehingga dihapus oleh YouTube. Seharusnya figur publik berhati-hati dalam menyampaikan informasi seputar Covid-19, terlebih lagi belum dapat dibuktikan kebenarannya. Hal ini karena figur publik merupakan orang yang sering dilihat atau diikuti lewat media social oleh masyarakat sehingga memiliki pengaruh besar dalam penyebaran berita hoaks
Banyak beredarnya informasi yang belum dibuktikan kebenarannya terkait COVID-19 dapat meningkatkan beban penanganan pandemi. Hoaks dan teori konspirasi membuat semakin sulit upaya dalam penanganan pandemic karena mempengaruhi sikap masyarakat. Masyaralat menjadi tidak peduli serta acuh tak acuh sehingga kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan menjadi turun. Selain itu, berita hoaks dan teori konspirasi meningkatkan kecurigaan masyarakat terhadap tenaga medis maupun rumah sakit. Telah ditemukan kejadian penarikan jenazah secara paksa dari rumah sakit dilakukan oleh masyarakat karena tidak percaya bahwa jenazah tersebut positif COVID-19. Atau masyarakat menganggap hal tersebut merupakan akal-akalan rumah sakit dan tenaga medis supaya memperoleh insentif atau uang. Dampak lainnya adalah berbagai intimidasi terhadap tenaga medis yang memberikan edukasi dan saat pulang ke rumahnya. Intimidasi tersebut terjadi baik secara langsung maupun di media sosial.
Berita hoaks tentang pandemi tak sesuai dengan asas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah asas yang dipercayai dan dipegang teguh perguruan tinggi yang merupakan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Berita hoaks tentang pandemi bertentangan dengan asas pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat adalah kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mengatasi berita hoaks tersebut, perlu disediakan literasi digital valid untuk masyarakat. Contoh kegiatan yang dapat disosialisasikan ialah teknik membaca ranah digital, atau dinamakan lateral reading. Teknik ini memverifikasi serta membaca secara paralel dari berbagai sumber terkait. Selain itu, pendidikan mengenai pandemi perlu dilakukan dalam jangka panjang. Tokoh masyarakat maupun pemuka agama harus dilibatkan sebagai pemberi informasi valid, juga pengawasan dan peningkatan fungsi media masa, khususnya media siber dalam penyebaran berita asli. Kita harus bersama dalam mengatasi berita hoaks dan teori konspirasi untuk menyukseskan upaya penanganan pandemi.
Untuk menangani berita hoaks, ada berbagai cara mudah yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi berita hoaks. Pertama, perhatikan judul pemberitaan yang mengandung unsur provokatif. Berita hoaks seringkali mengandung judul bersifat kontroversial yang provokatif, tujuannya untuk langsung menyalahkan suatu permasalahan ke pihak yang dituju. Isi berita bisa jadi diperoleh dari media resmi, hanya saja diatur sedemikian rupa agar menciptakan suatu persepsi sesuai keinginan pembuat berita hoaks. Karena itu, jika ditemukan berita bersifat provokatif, sebaiknya kita segera mencari referensi dan rujukan terkait dari situs resmi, selanjutnya membandingkan isinya. Dengan begitu, kita memperoleh berita yang lebih valid.
Langkah kedua yaitu dengan meneliti alamat situs. Kita harus meneliti URL situs tersebut apabila informasi berasal dari website atau mencantumkan link. Apabila berasal dari situs institusi pers belum resmi, contohnya menggunakan domain blog, maka informasi dapat dikategorikan kurang valid. Langkah ketiga adalah memeriksa fakta. Kita harus meneliti sumber berita. Disarankan tidak cepat percaya jika berita bersumber dari simpatisan ormas, tokoh politik, atau pengamat. Sebaiknya kita melakukan cross-check sumber berita dengan berita lainnya. Bila hanya terdapat satu sumber, pembaca tidak bisa mendapat gambaran berita secara utuh. Hal lain yang perlu diteliti adalah perbedaan berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga ada kecenderungan bersifat subyektif.
Langkah keempat adalah memeriksa keaslian foto. Di era teknologi digital saat ini, tidak hanya pesan teks yang bisa diedit, melainkan juga foto atau video yang bisa dijadikan sumber palsu. Hal ini dilakukan untuk memprovokasi pembaca supaya mempercayai berita tersebut. Metode untuk memeriksa keaslian foto dapat dengan memanfaatkan Google, dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian menyajikan gambar-gambar serupa yang ada di internet sehingga masyarakat bisa membandingkan kebenarannya.
Langkah kelima ialah mengikuti grup diskusi anti-hoaks. Di grup diskusi ini, masyarakat bisa ikut bertanya apakah informasi merupakan hoaks atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang telah dilakukan pihak lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi seperti crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang. Terdapat berbagai metode untuk melaporkan berita atau informasi hoaks di media massa. Untuk berita di Facebook, bisa menggunakan fitur Report Status dan mengkategorikan sebagai hatespeech/harrasment/rude/threatening, atau kategori lainnya yang sesuai. Apabila terdapat banyak aduan masyarakat, pihak Facebook akan segera menghapus status tersebut. Pengguna Google dapat menggunakan fitur feedback untuk melaporkan situs hasil pencarian berita palsu. Twitter melalui fitur Report Tweet untuk melaporkan muatan negatif, begitu pula dengan Instagram.
Oleh : Indah Yuniarti
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI