Perundungan kembali berulang. Kali ini terjadi pada salah seorang siswa SMP di Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat pada Jumat (2/6/2025). Ia mendapat perlakuan perundungan dan pengeroyokan oleh 11 temannya dengan cara dipukuli dan ditendang. Akibatnya ia mengalami luka fisik disejumlah tubuhnya berupa sakit dibagian leher, pinggang, dan tangan hingga luka psikis berupa trauma. (kompas.com)
Di tempat lain, salah seorang anak berusia (13 tahun) juga mengalami perundungan oleh dua teman sebayanya dan pemuda dewasa (20 tahun). Ia mengalami perundungan karena menolak meminum tuak dan merokok. Akibatnya ia ditendang, diceburkan di sumur tertimpa batu bata hingga kepalanya berdarah. Kasus ini terjadi di Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. (detiknews)
Dua kasus tersebut hanyalah beberapa dari sekian kasus perundungan anak yang terjadi di negri ini. Sebelumnya kasus perundungan juga kerap terjadi di berbagai tempat bahkan di lingkungan pesantren. Banyaknya kasus yang akhirnya mencuat dan viral, seringkali karena terungkap melalui video yang disebar melalui media sosial. Hanya saja bisa jadi, kasus yang muncul hanyalah fenomena gunung es, yang memungkinkan kasus yang tidak terekspos jah lebih banyak. Untuk itu sudah semestinya dibutuhkan solusi tuntas untuk mengatasi hingga ke akarnya.
Â
Tak Cukup Dengan RegulasiÂ
Berbagai regulasi dan program yang telah dibuat seperti adanya aturan UU No. 35 Tahun 2014 yang memuat larangan dan sanksi perundungan, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 untuk kasus perundungan dalam lingkungan pendidikan, program Sekolah Ramah Anak, dibentuknya satgas Anti-Kekerasan, Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Sosialisasi anti-bullying hingga layanan pengaduan ternyata tidak cukup mampu untuk mengatasi kasus perundungan. Terbukti, meskipun sudah ada regulasi dan berbagai program, kasus perundungan terus terjadi dan justru kasusnya naik secara signifikan.
Berdasarkan data JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia), ada peningkatan signifikan jumlah kasus perundungan terhadap anak di Indonesia dari tahun ke tahun. Di tahun 2020, jumlah perundungan terhadap anak terjadi dengan jumlah sebanyak 28 kasus, lalu semakin meningkat tahun 2021 sebanyak 44 kasus, tahun 2022 sebanyak 60 kasus, tahun 2023 sebanyak 88 kasus, hingga melonjak signifikan menjadi 177 kasus di tahun 2024.
Dengan berbagai kebijakan yang dibuat namun belum kunjung menyelesaikan persoalan perundungan, maka penting untuk dipahami bahwa ternyata regulasi saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah perundungan. Namun perlu pendekatan yang bersifat paradigmatis agar penanganannya bisa efektif hingga menyelesaikan kasus perundungan dengan tuntas.
Akar Masalah Perundungan Anak
Sudah 1 abad lebih negri ini diatur dengan sistem sekular Kapitalisme. Sistem ini tegak atas landasan pemisahan antara agama (Islam) dengan kehidupan. Karena itulah setiap kebijakan yang dibuat akan senantiasa berpijak pada paradigma ini. Padahal penerapan sistem sekuler Kapitalisme inilah yang justru menjadi penyebab atas munculnya kasus perundungan pada anak. Pada level individu dan keluarga, cara pandang sekuler telah menyebabkan nihilnya aspek ketakwaan yang menjadi pondasi utama anak dalam melakukan perbuatan.
Hal ini terjadi sebab fungsi keluarga utamanya orang tua dalam menjalankan pengasuhan dan pendidikan sesuai Islam terlalaikan. Orang tua terkadang tidak merasa perlu untuk mengajarkan anak tentang agama, padahal ini penting sebagai bekal untuk membentuk kepribadian islam yang luhur. Akibatnya anak tumbuh dengan pemahaman yang jauh dari Islam, dan cenderung mengikuti arus kehidupan tanpa mampu menilai benar/ salah.