Terlahir sebagai perempuan pada lingkungan yang masih menjunjung tinggi sikap patriarkisme, tentu sangat berat. Hal ini terbukti saat para perempuan mengambil peran yang biasanya dilakukan laki-laki, seperti bekerja atau berbagai kegiatan di ranah publik lainnya, pasti akan menuai kontroversi. Perempuan masih dianggap sebagai kaum pelengkap laki-laki. Perannya masih dibatasi pada ranah domestik saja.
Bagi lingkungan patriarki, perempuan dituntut wajib berada dirumah dan tak boleh membantah setiap perkataan laki-laki. Nilai-nilai dan standar yang dibangun dan ditetapkan masyarakat untuk perempuan, sangatlah jauh dari nilai kesetaraan dan keadilan. Terbukti masih mengakarnya anggapan bahwa perempuan yang tak kunjung menikah saat usianya sudah mencapai kepala tiga adalah sebuah aib dan pasti mendapat label perawan tua. Juga memandang perempuan yang bekerja hingga malam hari adalah perempuan yang tak baik.
Pada lingkungan patriarki perempuan baru dinilai sempurna manakala ia mampu memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan masyarakat. Mengenyam pendidikan seperlunya, lalu menikah, lalu menjadi istri yang menuruti setiap perkataan suami, kemudian menjadi seorang ibu. Jika beberapa hal ini belum terpenuhi, maka bersiaplah dengan pelabelan-pelabelan bahkan stigma negatif yang akan senantiasa menyelimuti.
Beberapa hari yang lalu, seorang kawan perempuan bercerita kepada saya. Usianya kira-kira dua puluh lima tahunan. Ia berbagi pengalaman perihal perjalanan hidupnya. Usianya yang sudah menginjak seperempat abad ini, ia manfaatkan dengan masih aktif di berbagai bidang. Ia bekerja pada lembaga sosial organisasi yang cukup masyhur dimasyarakat. Pun ia masih terlihat aktif pada organisasi ditempat kelahirannya. Seorang perempuan yang tak begitu peduli pada nilai standar yang diciptakan masyarakat lingkungannya. Orang tuanya beberapa kali menanyakan perihal statusnya. Kapan ia akan berhenti melajang. Sebab anak-anak yang usianya jauh dibawahnya sudah banyak yang menikah. Namun, selalu ia tepis dengan jawaban bahwa semua itu adalah mutlak kehendak Tuhan.
Saya rasa apa yang diucapkannya adalah benar. Bahwa meski terlahir sebagai perempuan tak lantas membuat kita lemah dan tunduk begitu saja pada standarisasi. Semua adalah proses perjalanan. Dan setiap proses tak akan pernah sama dan bisa disamakan. Selalu ada ujian dan nikmat sesuai porsinya masing-masing. Saya teringat sebuah postingan yang lewat pada beranda akun media sosial milik saya beberapa waktu lalu, begini kalimatnya.
"Usia dua puluh lima tahun itu saatnya untuk menjadi sosok yang lebih mandiri dan sukses. Bukan untuk dinikahkan."
Bagi saya statement demikian tentu diperuntukkan bukan hanya kepada laki-laki saja, tetapi perempuan juga.
Tampaknya beberapa hal yang telah mendarah daging di masyarakat kita mengenai standarisasi tersebut, perlu diubah. Agar mampu menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi sesama manusia baik sekarang maupun yang akan datang. Sempurna tidaknya seseorang dihadapan Tuhan hanyalah dinilai dari segi takwanya. Bukan dari sisi biologis atau dari jenis kelamin.