Pagi menjelang siang itu terasa sejuk di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Lombok Tengah. Dua pendingin ruangan bekerja menahan panas dari luar, menghadirkan suasana yang nyaman untuk berdiskusi. Di dalamnya, para Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) tampak serius, tetapi juga akrab.
Satu per satu TAPM menyampaikan laporan perkembangan pendampingan di desa-desa. Mereka bercerita tentang permasalahan yang muncul, sekaligus mencari peluang untuk menyatukan langkah dengan Dinas PMD. Namun arah pembicaraan hari itu lebih mengerucut pada satu hal penting: bagaimana mendorong desa segera melaksanakan Musyawarah Desa Khusus (Musdesus) tentang jaminan Dana Desa bagi Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
Ketika Amanah Bertemu Risiko
Peraturan Menteri Desa Nomor 10 Tahun 2025 menjadi dasar hukum yang membuka peluang bagi koperasi desa untuk memperoleh pinjaman dari Himbara. Di dalam regulasi itu disebutkan, maksimal 30 persen Dana Desa dapat digunakan sebagai jaminan terakhir jika koperasi gagal bayar.
Kebijakan ini mengandung semangat besar: mendorong ekonomi desa agar lebih produktif dan mandiri. Namun di sisi lain, muncul kegelisahan yang wajar. Kepala desa kini memikul tanggung jawab ganda — bukan hanya mengelola pembangunan, tetapi juga harus memastikan koperasi yang dijamin tidak gagal bayar.
Peraturan tersebut mewajibkan kepala desa untuk mengkaji proposal bisnis, mengoordinasikan pembayaran angsuran, hingga memberikan surat kuasa apabila dana koperasi tidak mencukupi. Bagi sebagian TAPM, kebijakan ini membuka ruang keberdayaan baru, tetapi juga menambah risiko yang menuntut kehati-hatian luar biasa.
Dalam diskusi itu, seorang TAPM menyebut bahwa pemberdayaan tidak boleh hanya dimaknai sebagai urusan modal atau angka pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, tanggung jawab sosial dan moral kepala desa juga harus dilindungi. Jika regulasi dijalankan tanpa memperhatikan kapasitas desa, justru bisa melahirkan tekanan baru yang menggerus semangat gotong royong.
Membumikan Pemberdayaan, Meneguhkan Pengetahuan
Suasana diskusi kian hidup. TAPM dan Dinas saling bertukar pandangan, mencari cara terbaik agar semangat pemberdayaan tidak kehilangan arah. Pemberdayaan, disepakati bersama bahwa, bukan sekadar memindahkan tanggung jawab pembangunan dari negara ke desa, tetapi memperkuat kemampuan warga untuk mengelola hidupnya secara mandiri.
Salah seorang TAPM kemudian mengusulkan gagasan segar: melibatkan perguruan tinggi dalam proses kajian potensi desa. Jika KDMP ingin mengakses pinjaman, desa dapat meng-hire perguruan tinggi untuk melakukan kajian akademik tentang potensi ekonomi, peluang usaha, serta sektor yang paling mungkin dikembangkan.
Langkah ini dinilai strategis karena menghadirkan dasar ilmiah bagi setiap keputusan desa. Kajian akademik akan membantu memastikan bahwa usaha koperasi didirikan berdasarkan data, bukan asumsi. Hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan administratif — dua hal yang penting dalam pengelolaan Dana Desa.
Usulan itu disambut. Pelibatan akademisi dianggap bukan hanya memperkuat legitimasi kebijakan, tetapi juga membuka ruang kolaborasi antara tiga entitas: desa sebagai pelaku pembangunan, perguruan tinggi sebagai sumber pengetahuan, dan pemerintah sebagai fasilitator kebijakan. Jika dijalankan, pola ini dapat menjadi contoh bagaimana pemberdayaan berjalan di atas pijakan ilmiah dan sosial yang kuat.