“Mandalika bukan sekadar lintasan balap, tapi panggung yang mempertemukan gemuruh mesin dan kesunyian laut Lombok.”
Gemuruh mesin dari lintasan Mandalika kembali menggema di langit selatan Lombok. Di layar kaca, dunia menyaksikan deru para pebalap menaklukkan tikungan berkecepatan tinggi. Sorotan kamera menampilkan kegagahan sirkuit bertaraf dunia, berbingkai birunya laut dan hijaunya perbukitan yang seolah memeluk arena kecepatan itu.
Namun hanya beberapa kilometer dari sirkuit, kehidupan desa berjalan dalam ritme yang berbeda. Petani menggiring sapi ke sawah, nelayan menebar jala di laut, dan anak-anak berlarian di jalan berdebu. Ketenangan ini seakan tak terusik oleh gegap gempita global yang datang setiap tahun.
Antara sirkuit dan desa, terbentang pertanyaan sunyi: seberapa dekat kemegahan global dengan kehidupan lokal?
Kamera yang sama menangkap pemandangan kontras — seorang nelayan menebar jala di laut dengan tenang, sementara di kejauhan suara mesin MotoGP bergema seperti lagu asing. Momen itu menggugah bukan hanya mata, tapi juga hati, menghadirkan pertanyaan sunyi: seberapa dekat sebenarnya Mandalika dengan masyarakat yang mengelilinginya?
Harmoni di Tengah Gemuruh
Bagi warga di sekitar sirkuit, gelaran MotoGP sudah menjadi bagian dari kalender tahunan yang mereka sambut dengan rasa campur aduk. Ada kebanggaan ketika nama kampung mereka disebut dalam siaran internasional, tetapi juga rasa asing, seolah tontonan besar itu hanya lewat di halaman rumah tanpa mengetuk pintu.
Ketika penonton bersorak di tribun, warga desa tetap menunaikan rutinitasnya. Nelayan berangkat sebelum fajar, membawa perahu menembus ombak. Petani menyiangi padi dengan kepala tertunduk di bawah panas matahari. Pedagang kecil membuka lapak seadanya di pinggir jalan, berharap sedikit rezeki dari lalu-lalang kendaraan wisatawan. Gemuruh mesin di kejauhan hanyalah gema, bukan getaran dalam hidup mereka.
Harmoni bukan berarti kemakmuran — kadang hanya cara tenang masyarakat bertahan di tengah perubahan yang tak menyentuh mereka.
Dalam suasana seperti itu, harmoni antara dunia modern dan tradisi lokal justru terasa kuat. Tak ada konflik, tak ada keresahan. Masyarakat menerima semua dengan tenang, sebagaimana mereka menerima pasang surut laut. Mereka tahu Mandalika telah membawa nama Lombok ke panggung dunia, tapi di hati mereka, yang paling nyata tetaplah ladang, laut, dan keluarga.
Namun harmoni ini juga menyimpan renungan. Empat kali MotoGP digelar di Mandalika, tetapi wajah ekonomi desa di sekitarnya tak banyak berubah. Warung-warung kecil masih sama, jalan kampung tetap becek saat hujan, dan kehidupan masyarakat berjalan di jalur lama — tenang, tapi nyaris tak tersentuh perubahan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!