Membicarakan hubungan pejabat dengan buku seringkali memunculkan ironi. Di satu sisi, literasi diyakini sebagai dasar kepemimpinan yang kokoh. Di sisi lain, pengalaman politik kita justru menunjukkan bahwa kedekatan dengan bacaan belum menjadi syarat utama mencapai kursi kekuasaan.
Banyak tokoh besar dunia lahir dari tradisi membaca. Mereka meminjam gagasan dari halaman-halaman buku guna merumuskan kebijakan. Namun di negeri ini, kisah seorang pejabat tinggi yang secara terang-terangan mengaku tidak suka membaca, tetapi tetap sukses menapaki jabatan tertinggi, membuka ruang renungan mendalam.
Literasi dan Bayangan Kepemimpinan
Kepemimpinan sering dipandang sebagai hasil dari bakat alami, jaringan sosial, dan strategi politik yang lihai. Namun di luar negeri, bacaan justru dianggap bekal penting. Banyak presiden, perdana menteri, hingga pemimpin bisnis besar yang menjadikan buku sebagai laboratorium berpikir mereka.
Barack Obama misalnya, dikenal sebagai pembaca serius. Selama masa kepresidenannya, ia kerap membagikan daftar bacaan tahunannya. Baginya, buku adalah cara memahami kerumitan dunia dan menyerap perspektif berbeda. Pandangannya yang luas tidak lahir semata dari pengalaman, melainkan juga dari bacaan beragam.
Contoh lain datang dari Xi Jinping, Presiden Tiongkok, yang sejak muda terbiasa membaca karya klasik maupun teori politik. Ia menjadikan bacaan sebagai rujukan dalam pidatonya, memperlihatkan bahwa literasi bukan sekadar hobi pribadi, melainkan sumber legitimasi intelektual di ruang politik.
Bahkan di Jerman, Angela Merkel memperlihatkan hal serupa. Latar belakang ilmiahnya yang ditempa dari bacaan serius membentuk gaya kepemimpinan yang rasional. Ia mengambil keputusan dengan pertimbangan matang, memperlihatkan bagaimana literasi bisa menyatu dengan praktik politik tanpa kehilangan kedalaman.
Namun publik di negeri ini tampaknya lebih terpesona pada kelihaian politik ketimbang kedalaman pengetahuan. Ketika kemampuan lobi dan retorika lebih dihargai, buku kerap tergeser dari meja kerja pejabat. Ironi ini menyimpan pertanyaan serius tentang arah kepemimpinan kita.
Politik tanpa Buku
Di Indonesia, politik sering kali tidak membutuhkan legitimasi intelektual berbasis bacaan. Seorang politisi bisa saja mencapai posisi tinggi melalui kelihaian membangun jaringan, menjaga loyalitas, dan memainkan simbol. Buku tidak selalu hadir dalam perjalanan itu menuju kekuasaan.
Kondisi ini berpotensi melahirkan kepemimpinan yang pragmatis. Tanpa bacaan yang memadai, keputusan mudah terjebak pada kepentingan sesaat. Pemimpin lebih sibuk menghitung kalkulasi politik dibanding menggali gagasan dari tradisi pengetahuan yang telah teruji oleh sejarah panjang bangsa-bangsa lain.
Memang ada pejabat yang menulis buku, baik memoar maupun gagasan politik, yang sekilas menunjukkan kedekatan dengan literasi. Akan tetapi, publik kerap bertanya-tanya: benarkah karya itu lahir dari kedalaman bacaan mereka, atau sekadar hasil tim penulis bayangan demi kebutuhan pencitraan politik?