Pembangkangan sipil biasanya lahir dari akumulasi keresahan kecil yang diabaikan. Mulanya hanya berupa sindiran, kemudian menjadi ejekan massal, lalu berubah menjadi penolakan instruksi. Gerakan "Stop Tot Tot Wuk Wuk" sudah menunjukkan pola tersebut dan perlu diwaspadai sejak dini.
Tukang giling yang menolak menepi, sopir angkot yang tetap melaju meski sirene meraung, atau pengguna jalan lain yang menutup telinga---semua bisa menjadi bentuk awal pembangkangan. Penolakan sederhana ini berakar pada ketidakpercayaan terhadap aturan yang dianggap timpang.
Mengutip Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1987), ruang publik bekerja ketika masyarakat percaya bahwa aturan berlaku adil. Jika aturan dianggap dimonopoli oleh elite, masyarakat akan menciptakan norma sendiri, salah satunya dengan menolak instruksi yang merugikan mereka.
Dalam konteks jalan raya, hal ini sangat berbahaya. Penolakan kecil dapat memicu ketegangan horizontal antara masyarakat dan aparat pengawal jalan. Benturan fisik bisa terjadi, hanya karena sirene yang seharusnya menyelamatkan justru dianggap sebagai simbol arogansi.
Jangan sampai keresahan para pekerja jalanan, seperti tukang giling keliling, menjadi bara api yang meluas. Negara harus hadir menegakkan aturan secara adil, agar pembangkangan sipil tidak tumbuh hanya karena sirene yang berbunyi di waktu dan tempat yang salah.
Menegakkan Aturan dan Memulihkan Kepercayaan
Solusi atas persoalan ini sebenarnya sederhana: tegakkan aturan dengan tegas dan adil. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas telah jelas mengatur siapa yang berhak memakai sirene. Namun, pelaksanaan di lapangan sering kali mengabaikan batasan tersebut.
Polisi lalu lintas perlu memastikan sirene hanya digunakan pada kondisi darurat. Iring-iringan pejabat sebaiknya diberi batasan ketat, bahkan diminimalkan jika tidak benar-benar mendesak. Keteladanan pejabat untuk tidak menggunakan sirene sembarangan bisa memulihkan kepercayaan publik.
Selain penegakan hukum, perlu juga sosialisasi. Publik harus tahu perbedaan sirene darurat dan sirene non-darurat. Kesadaran kolektif ini akan memperkuat legitimasi hukum. Menurut Robert Putnam dalam Making Democracy Work (1993), kepercayaan sosial tumbuh dari konsistensi antara aturan dan praktik nyata.
Media massa juga memegang peranan penting. Pemberitaan kritis akan membantu publik memahami masalah ini bukan sekadar soal bunyi bising, melainkan soal keadilan sosial di ruang publik. Keadilan yang menyangkut martabat tukang giling hingga kenyamanan warga biasa di jalan.
Hanya dengan langkah tegas dan adil, sirene bisa kembali dipahami sebagai simbol penyelamatan. Jika tidak, ia akan terus dipersepsikan sebagai simbol arogansi. Dari sinilah pembangkangan sipil berawal---dari suara kecil di jalan yang diabaikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI