Di sebuah siang yang terik, jalan utama kota kecamatan tampak ramai oleh lalu lintas harian. Tetiba, terdengar bunyi "tot tot wuk wuk" yang kian mendekat. Seorang tukang giling keliling yang mengendarai kendaraannya spontan menepi. Namun, gerakan mendadak itu membuat kendaraannya oleng, muatan di atasnya berguncang hebat, hampir tumpah ke jalan.
Dengan wajah terkejut, ia menoleh ke belakang. Ternyata bukan ambulans, bukan pula pemadam kebakaran, melainkan segerombolan pengendara motor merek tertentu yang melintas dengan sirene memekakkan telinga. Bagi sang tukang giling, pengalaman ini bukan sekadar gangguan. Itu adalah wujud nyata ketidakadilan di jalan, ruang publik yang seharusnya aman bagi semua orang.
Keresahan Tukang Giling Keliling
Bagi pekerja kecil seperti tukang giling keliling, ketenangan dan konsentrasi di jalan adalah segalanya. Bunyi sirene yang tak semestinya membuat mereka tergesa menepi tanpa tahu apakah keadaan benar-benar darurat. Di jalan sempit dengan muatan berat, hal itu bisa berarti bahaya.
Ketika kendaraan mereka terpaksa menghindar mendadak, risiko besar mengintai: muatan tumpah, kendaraan terbalik, bahkan membahayakan pengguna jalan lain. Semua itu hanya karena sirene "palsu" yang menuntut prioritas jalan. Dari sini keresahan kecil mulai tumbuh menjadi keluhan kolektif.
Jika keresahan ini terus diabaikan, sirene bukan lagi simbol kedaruratan. Ia menjelma simbol ketidakadilan dan arogansi. Pada titik inilah keresahan kecil bisa berubah menjadi bara, memicu sikap menolak, bahkan menjadi bentuk pembangkangan sipil yang tidak diinginkan.
Dari Simbol Darurat Menjadi Simbol Arogansi
Sirene sejatinya diciptakan untuk menyelamatkan nyawa. Ambulans, pemadam kebakaran, dan kepentingan darurat berhak memanfaatkannya. Namun, ketika sirene dipakai demi memuluskan jalan pejabat atau sekadar iring-iringan, makna kedaruratan berubah menjadi privilese yang sulit diterima masyarakat.
Masyarakat mulai membaca "tot tot wuk wuk" bukan sebagai tanda bahaya, tetapi tanda kekuasaan. Perubahan makna simbol ini sangat berbahaya. Menurut James Scott dalam Domination and the Arts of Resistance (1990), simbol elite yang kehilangan legitimasi akan dibalik menjadi alat ejekan rakyat.
Ejekan memang sudah terdengar, bahkan viral di media sosial. Namun, di balik humor itu ada keresahan nyata. Tukang giling, sopir angkot, hingga pekerja ojek daring, semuanya mulai meragukan legitimasi aturan lalu lintas yang dianggap memberi keistimewaan berlebihan kepada kelompok tertentu.
Jika simbol darurat dipersepsikan sebagai simbol arogansi, kepercayaan publik pada aparat akan terkikis. Jalan raya yang seharusnya menjadi ruang bersama malah berubah menjadi panggung ketidakadilan. Ketidakadilan yang dibiarkan bisa melahirkan resistensi sosial dalam skala lebih luas.
Pemerintah harus membaca tanda-tanda ini. Jangan biarkan sirene kehilangan fungsinya sebagai simbol penyelamatan. Jika sirene sudah sepenuhnya dipersepsikan negatif, maka setiap penggunaannya berisiko memantik penolakan, bahkan perlawanan terbuka di jalan.