Hari itu menjadi hari bahagia bagi sebuah keluarga. Pesantren mengirimkan pemberitahuan sederhana, lengkap dengan pamflet yang menyebutkan bahwa seorang santri akan melafalkan hafalan lima juz pertamanya dalam satu majelis. Kabar itu menimbulkan getar kebanggaan sekaligus harapan besar yang menyelimuti hati.
Hari itu, Selasa 23 September 2025, suasana di masjid pesantren begitu penuh khidmat. Santri yang melafalkan hafalannya duduk di depan, mengalunkan ayat-ayat dengan suara lantang. Satu demi satu ayat meluncur tanpa ragu, mengalir seakan menyatu dengan napasnya sendiri.
Hadirin larut dalam keheningan. Sebagian membuka mushaf mengikuti lantunan ayat, sementara yang lain cukup mendengarkan dari hafalan. Momen itu melampaui sekadar capaian seorang santri; ia adalah simbol perjalanan panjang dari disiplin. Dari masa kecil yang diwarnai permainan bola hingga malam-malam panjang mengulang hafalan, semuanya berpuncak pada saat ia duduk melafalkannya di hadapan para guru.
Namun kebanggaan itu juga bercampur rasa haru. Ketika pertama kali ia pulang setelah sekian lama di pesantren, tubuhnya tampak lebih kurus, tulang pundaknya menonjol jelas. Pemandangan itu menimbulkan keharuan mendalam: perjalanan menuntut ilmu rupanya juga menuntut pengorbanan fisik yang nyata.
Kesederhanaan yang Membekas
Hidup di pesantren kerap membentuk pribadi santri menjadi sederhana. Banyak di antara mereka jarang meminta sesuatu kepada orang tua. Bahkan ketika pakaian, songkok, atau sarung sudah terlihat usang, jawaban yang sering terdengar hanyalah, “Ini sudah cukup.”
Sikap itu membuat keluarga sering kebingungan. Saat ingin membelikan barang baru, sering kali justru mendapat penolakan halus. Beberapa orang tua bahkan memilih menyelipkan perlengkapan baru diam-diam dalam bekal, meski tahu sang anak akan kembali berkata bahwa yang lama masih bisa dipakai.
Ada satu hal yang berbeda: sandal. Setiap kunjungan, sandal baru hampir selalu dibawa. Bukan tanpa alasan. Tidak jarang ditemukan santri berjalan tanpa alas kaki di lingkungan pesantren. Ketika ditanya, jawabannya sederhana: sandal hilang, dan mereka takut mengambil milik teman karena khawatir ghosob—tindakan memanfaatkan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Kesahajaan ini menyentuh hati. Di tengah dunia yang serba ingin lebih, ada anak-anak yang justru menolak kelebihan. Mereka hidup dengan prinsip cukup, seolah mengingatkan semua orang bahwa kebahagiaan tak melulu datang dari banyaknya benda, melainkan dari lapangnya hati.
Nama, Simbol, dan Doa yang Menyertai
Di balik kesederhanaan itu, ada pula keyakinan bahwa nama yang disandang seorang anak membawa doa dan arah hidupnya. Nama bukan sekadar panggilan, melainkan simbol yang menanamkan sugesti spiritual, memengaruhi perilaku, dan memberi arah pada perjalanan hidup seseorang.
Salah satu kisah yang kerap menjadi inspirasi adalah tentang Idris bin Abbas, ayah Imam Syafi’i. Dikisahkan, suatu hari ia menemukan buah hanyut di sungai. Karena lapar, ia memakannya. Namun setelah sadar, hatinya gelisah. Ia lalu mencari pemilik buah itu untuk meminta kerelaan.