Dalam dunia yang cepat berubah, relasi manusia sering kali ringkih. Pertemanan bisa runtuh oleh salah paham, perbedaan pendapat, atau jarak yang semakin membentang. Namun, ada satu bentuk penjagaan yang tak terlihat namun kuat: doa. Sebuah permohonan kepada Tuhan untuk menjaga sahabat, menjadi jembatan batin yang tak lapuk oleh waktu.
Doa yang terucap bukan hanya kata-kata, melainkan ikatan jiwa. Ia adalah bentuk cinta yang tidak menuntut balasan, melainkan hanya berharap pada ridha Tuhan. Ketika seseorang mendoakan sahabatnya agar dilindungi dalam urusan dunia dan akhirat, sejatinya ia sedang memperpanjang umur persahabatan itu sendiri.
Salah satu doa yang kerap menjadi pengikat batin dalam pertemanan berbunyi:
اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ صَدَاقَتَنَا بَاقِيَةً فِي رِعَايَتِكَ، وَارْزُقْ صَاحِبِي هُدًى وَنُورًا وَسَعَادَةً لَا تَزُولُ، وَاحْفَظْهُ فِي دِينِهِ وَدُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ. وَلَا تَجْعَلْ بَيْنَنَا فُرْقَةً إِلَّا عَلَى خَيْرٍ، وَاجْمَعْنَا دَائِمًا عَلَى مَحَبَّتِكَ.
“Ya Allah, jadikanlah persahabatan kami tetap terjaga dalam naungan-Mu. Anugerahkan sahabatku petunjuk, cahaya, dan kebahagiaan yang tak akan sirna. Lindungilah ia dalam urusan agama, dunia, dan akhiratnya. Jangan Engkau pisahkan kami kecuali dalam kebaikan, dan pertemukanlah kami selalu dalam cinta-Mu.”
Kalimat ini bukan sekadar pengharapan, tetapi pernyataan keyakinan bahwa cinta karena Allah lebih kuat dari sekadar kesamaan aktivitas atau ide. Ia memohon agar Tuhan tidak sekadar menyatukan, tapi juga menjaga dan memisahkan hanya dalam kebaikan.
Persahabatan yang didasarkan pada cinta karena Allah (mahabbah fillah) membawa dimensi spiritual yang tidak bisa diukur oleh materi. Ketika seseorang mendoakan kebahagiaan sahabatnya tanpa diketahui olehnya, di situlah ketulusan itu menemukan bentuknya yang paling murni.
Doa bukan hanya ekspresi harapan, tetapi bentuk pengorbanan batin. Ia menyimpan kerinduan, kepedulian, dan keyakinan bahwa Tuhan akan menjaga yang kita sayangi, bahkan ketika kita tak mampu menjangkaunya secara fisik. Ini adalah bentuk cinta yang tidak mengekang, tetapi membebaskan.
Namun, dalam realitas hidup, kadang sahabat yang dulu duduk dan tidur di karpet yang sama, makan dari piring yang sama, dan menjadi tempat kita menitipkan harapan-harapan besar tentang masa depan pemberdayaan—justru kini menikam dalam diam. Tidak dengan pedang, tapi dengan jarum-jarum kecil dari balik bayang.
Luka semacam itu tidak selalu berdarah, tapi menyisakan pedih dalam yang tidak mudah reda. Kepercayaan yang retak memang tak selalu tampak di permukaan. Tapi saat seseorang tetap mendoakan sahabatnya meski telah dikhianati, di situlah doa menjadi obat paling dalam.