Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini. Banjir rob mengancam pesisir Pulau Lombok dan Sumbawa selama 11 hari ke depan. Fenomena ini bukan kejutan, tetapi pola yang makin sering berulang.
Rob kali ini dipicu fase bulan purnama pada 10 Juli, dengan potensi pasang maksimum lebih dari 1,9 meter. Ada 18 wilayah pesisir di NTB yang disebut dalam daftar risiko. Dari Ampenan hingga Asakota, air laut siap menggenang kapan saja.
Gelombang laut tinggi hingga 2,5 meter, ditambah angin kencang dan cuaca tak menentu, menjadi kombinasi ancaman yang harus diwaspadai. BMKG bahkan menyebut waktu-waktu pasang tertinggi yang rawan terhadap aktivitas warga di pesisir.
Sayangnya, kesiapsiagaan di desa-desa pesisir masih sangat terbatas. Ketika rob tiba, masyarakat sering tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada jalur evakuasi yang jelas, tak ada peringatan lokal, apalagi perencanaan berbasis risiko.
Ancaman banjir rob bukan hanya musiman, tapi kini sudah menjadi pola. Desa-desa pesisir membutuhkan pendekatan baru dalam merencanakan pembangunan dan mitigasi—yang tak lagi bisa lepas dari agenda pengurangan risiko bencana.
Desa bukan sekadar batas administrasi, melainkan ruang hidup nyata bagi jutaan warga. Di NTB saja, terdapat 292 desa dan kelurahan yang berbatasan langsung dengan laut. Sekitar 25 persen dari total wilayah administratif NTB rentan terhadap bencana pesisir.
Namun dalam praktiknya, perencanaan desa masih sering bersifat normatif dan administratif. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) kerap disusun sekadar memenuhi kewajiban, bukan sebagai alat antisipasi perubahan iklim dan bencana.
Padahal, dalam konteks rob, tsunami, abrasi, atau gelombang pasang, yang paling pertama dan terdampak adalah desa. Jika perencanaan abai terhadap risiko-risiko tersebut, maka pembangunan justru memperbesar kerentanan warganya.
Kita dapat belajar dari peristiwa banjir pada 5 Juli 2025 di Kota Mataram. Menurut Lombok Post, lebih dari 201 rumah warga terdampak dan sekitar 1.000 jiwa menjadi korban banjir. (Lombokpost.jawapos.com, 5/7/2025).
Tak hanya itu, menurut Kompas TV, aktivitas warga sempat lumpuh karena banjir yang merendam pemukiman dan ruas jalan utama. Bahkan, Radar Lombok melaporkan bahwa tembok rumah roboh, mobil terseret arus, dan sebagian permukiman terendam. Ini bukan kejadian di masa lalu—ini kondisi yang sedang berlangsung.