Wacana penempatan bendahara desa oleh Pemerintah Daerah memunculkan gelombang respons yang tak seragam. Sebagian menyambut dengan antusias, sebagian lainnya menaruh curiga. Di tengah kasus korupsi dana desa yang marak, wacana ini terlihat menjanjikan.
Gagasan ini lahir bukan tanpa sebab. Dalam praktiknya, banyak kasus di mana kepala desa secara informal “meminjam tangan” bendahara desa untuk mencairkan dana kegiatan yang tidak melalui prosedur yang benar. Bahkan, dalam sejumlah desa, bendahara tak pernah benar-benar memegang kas fisik dana desa.
Padahal, dalam sistem keuangan desa yang sehat, bendahara berperan sebagai pemegang dan pengelola uang kas sesuai dengan perintah penggunaan yang sah. Namun ketika kepala desa merasa dirinya sebagai “penguasa tunggal” dana desa, peran bendahara menjadi formalitas semata.
Memang benar, menurut Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan bertindak sebagai pengguna anggaran. Tapi bukan berarti ia berwenang langsung mengelola dan menyimpan uang kas.
Maka, ketika peran bendahara hanya menjadi pelengkap tanpa kendali nyata atas uang desa, muncul pertanyaan mendasar: mungkinkah transparansi dan akuntabilitas terwujud jika praktik “pinjam tangan” ini dibiarkan? Di sinilah ide bendahara dari Pemda menemukan momentumnya.
Sebelum reformasi desa pasca lahirnya UU Desa No. 6 Tahun 2014, sekretaris desa umumnya adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat oleh bupati/wali kota dan ditempatkan di desa. Aturan ini berlandaskan PP No. 45 Tahun 2007 dan sebelumnya PP No. 72 Tahun 2005, yang mengatur pengangkatan sekretaris desa sebagai PNS.
Penempatan PNS sebagai sekretaris desa dulu bertujuan serupa yakni, agar ada tata kelola administrasi desa yang profesional, terhubung dengan sistem pemerintahan di atasnya, serta menjadi jembatan koordinasi antara desa dan kabupaten.
Ada kelebihan dari skema tersebut. Misalnya, tertibnya administrasi dan pelaporan karena SDM berasal dari struktur birokrasi yang terlatih. Selain itu, perintah dari kabupaten dapat lebih cepat diterjemahkan di tingkat desa karena ada “orang dalam sistem” yang siap menjalankan.
Namun, tak sedikit pula kekurangannya. Sekretaris desa seringkali tidak memahami karakter dan dinamika sosial desa tempat ia ditempatkan. Ia juga cenderung lebih loyal kepada atasan di kabupaten daripada bekerja bersama kepala desa. Hal ini memicu konflik kepemimpinan dan memperlemah partisipasi warga.
Setelah UU Desa 2014 diberlakukan, desa diberi hak untuk mengangkat sekretaris desa dari unsur perangkat lokal yang memenuhi syarat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 50 ayat (1). Artinya, desa berhak mengelola sendiri aparatur desanya sesuai kebutuhan dan kearifan lokal.